Uang Jatah Hasan Wirajuda Disebut untuk Bebaskan Sandera
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uang jatah sebesar Rp 40 juta per konferensi internasional yang awalnya diperuntukkan untuk mantan menteri luar negeri Hasan Wirjauda disebut untuk membebaskan sandera warga negara Indonesia di Filipina.
"Saya tidak pernah serahkan (uang) ke Pak Menlu, saya hanya lapor ke Sekjen Pak Sudjanan dan beliau mengatakan dititipkan di tempat saya dan selanjutnya uang dipakai atas perintah Pak Sudjanan, ditransfer untuk membebaskan sandera di Filipina," kata mantan Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Biro Keuangan I Gusti Putu Adnyana dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (28/5).
Putu menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan 12 kegiatan pertemuan dan sidang internasional di Deplu dengan terdakwa mantan sekretaris jenderal Sudjadnan Parnohadiningrat dan Hasan juga menjadi saksi dalam kasus tersebut.
Padahal menurut jaksa, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Putu mengaku bahwa uang tersebut ditujukan untuk Menlu Hasan Wirajuda.
"Dalam BAP Anda mengatakan uang dititipkan ke sekjen untuk diberikan ke menlu?" tanya jaksa.
"Itu alokasi yang waktu saya lapor ke sekjen, beliau katakan titipkan di tempat saya saja di tempat bendaharawan, lalu atas perintah beliau uang harus ditransfer untuk sandera di Filipina; yang di situ (BAP), saya salah, saya tidak pernah bilang dititipkan," jawab Putu.
Padahal dalam dakwaan, Hasan disebut mendapatkan uang Rp 440 juta dari 11 konferensi karena ada uang Rp 40 juta per konferensi yang disisihkan untuk Hasan.
"Sebenarnya yang terjadi pada waktu itu adalah setiap kali sidang dialokasikan, disisihkan Rp 40 juta, kalau tidak salah ada 11 kegiatan. Pak Sekjen pada waktu itu hanya mengatakan ini alokasi dana untuk keperluan Pak Menlu dan Pak Sekjen tapi akhirnya tidak jadi diserahkan. Jadi saya hanya laporkan ke Pak Sekjen tapi tidak pernah diterima oleh Pak Hasan " ungkap Putu.
Putu mengaku pengalokasian itu punya tanda terima, hanya saja saat renovasi gedung Deplu, tanda terima itu hilang.
"Kebijakan siapa menyisihkan uang itu?" tanya hakim ketua Nani Indrawati.
"Waktu itu saya mendapat instruksi dari Pak Sekjen, katanya barang kali ada pengeluaran Pak Menteri yang tidak bisa dipertangungg jawabkan," jawab Putu.
"Apakah ada lagi yang mendengar perintah itu?" tanya hakim Nani.
"Ada Pak Warsita Eka," jawab Putu.
Warsita Eka adalah mantan Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka yang juga hadir sebagai saksi.
"Saya, Pak Putu, dan Pak Sekjen berembuk untuk membicarakan bagaimana kalau ada kepentingan tertentu Pak Menlu yang tidak dipertanggungjawabkan," ungkap Warsita.
"Apakah ada permintaan menteri langsung?" tanya hakim Nani.
"Tidak ada," jawab Warsita.
"Lalu uang Rp 440 juta diambil dari mana?" tanya hakim.
"Dari anggaran yang ada, disisihkan," jawab Warsito.
"Itu dititipkan ke anggaran, jadi bukan fiktif," ungkap Putu.
"Saya dirugikan karena mengatakan ada uang yang diberikan ke Menlu sebesar Rp 440 padahal keterangan itu sekarang bergeser, karena itu saya ingin penegasan apakah dana itu betul tidak diberikan ke saya? Karena mendengar uang lelah itu baru saat saya diperiksa di KPK, saya tidak pernah dengar saat konferensi mengenai uang lelah," tanya Hasan yang mengaku punya tunjangan taktis sebagai menteri sebesar Rp 100 juta per bulan.
Namun Hasan memang mengakui ada uang yang dikeluarkan untuk membebaskan sandera yaitu warga negara Indonesia di Filipina.
"Upaya pembebasan sandera memang ada, tapi kita tidak pernah kompromi teroris. Saya memang pernah dilaporkan bahwa demi penyelamatan warga negara kita diberikan uang," jelas Hasan.
"Apakah uang itu seizin negara?" tanya hakim.
"Karena ini kebijakan dasar kita untuk tidak kompromi dengan teroris maka saya sangat hati-hati, jadi lakukan konsultasi dengan presiden SBY bagaimana baiknya," jawab Hasan.
"Melaporkan kepada presiden mengenai penggunaan uang?" tanya hakim.
"Tidak, karena presiden hanya memerintahkan demi penyelamatan warga negara agar dicari anggarannya," jelas Hasan.
"Tapi apakah tahu anggaran itu memang disisihkan untuk saudara?" tanya hakim anggota majelis hakim Made Hendra.
"Saya tidak tahu," jawab Hasan.
"Sandera itu tahun berapa?" tanya hakim
"Saya kira 2005," jawab Hasan.
"Uang tebusan benar dibayarkan?" tanya hakim.
"Iya, dilakukan pembayaran tapi saya tidak tahu sumber uangnya," jawab Hasan.
"Nilainya berapa?" tanya hakim.
"75 ribu dolar AS, waktu itu dananya ditalangi sementara oleh KBRI Kuala Lumpur.
Dalam perkara ini, Sudjanan didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp11 miliar dari 12 konferensi internasional karena melakukan penunjukkan langsung professional convention organizer (PCO) tanpa melalui prosedur penunjukan yang semestinya maupun melaksanakan sendiri tanpa melalui prosedur swakelola yang semestinya dengan laporan pertanggungjawaban kegiatan seolah-olah menggunakan PCO.
Atas perbuatannya tersebut, Sudjanan didakwa berdasarkanpasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...