Uber dan Masalah Angkutan Umum
SATUHARAPAN.COM – Soal angkutan umum, kita harus mengakui bahwa Indonesia masih menghadapi begitu banyak masalah, tetapi juga memiliki begitu banyak ragam, bahkan mungkin unik. Dampak masalah ini meluas melampaui masalah-masalah ekonomi. Dan hal itu bisa diperbaiki, seperti yang sudah dilakukan pada pengelolaan kereta api di Tanah Air.
Dalam pekan ini, khususnya di Jakarta, yang tengah diributkan adalah keberadaan angkutan yang dikenal sebagai Uber dan Grabcar. Yang dimasalahkan bukan tentang aplikasi online yang digunakan, tetapi terpenuhinya ketentuan hukum sebagai usaha angkutan umum, dan persaingan di antara angkutan umum.
Ketentuan itu, termasuk kendaraan yang digunakan harus terdaftar sebagai angkutan umum (plat kuning) yang dilakukan oleh sebuah badan usaha, setiap enam bulan harus diuji berkala (kir) untuk memenuhi kelayakan dioperasikan, dan pengemudinya harus memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) A umum.
Ketentuan itu, semangatnya untuk terpenuhinya keamanan dan keselamatan yang merupakan hak penumpang, dan perlindungan sebagai konsumen. Hal ini yang sekarang disorot terhadap Grabcar dan Uber.
Masalahnya, bagaimana pemerintah, termasuk pemerintah daerah menegakkan aturan itu yang semestinya tidak harus menghadapi kesulitan, karena keberadaan mereka cukup terbuka. Dari kaca mata publik dan konsumen, tentu saja ada kebutuhan nyata akan angkutan umum yang nyaman, aman, dan dengan tarif yang pantas. Dan lebih luas lagi adalah keterbatasan peluang kerja.
Pilihan Publik
Munculnya Grabcar dan Uber, sejauh ini menimbulkan kekhawatiran pada usaha taksi yang telah berjalan. Pilihan publik pada dua model angkutan umum itu, karena alasan tarif dan kemudahan (melalui aplikasi online). Jadi, pertanyaannya adalah mengapa tarifnya bisa berbeda cukup tajam?
Pertanyaan itu, banyak dijawab bahwa aturan sebagai kendaraan umum, dan uji kir, membuat perbedaan dalam tarif yang diberlakukan. Jika ini menjadi masalah, maka pemerintah yang menjalankan uji kir, seharunya mengkaji pengelolaannya. Jangan-jangan uji kir sebagai formalitas yang hanya membebani biaya, dan kurang efektif dalam melindungi konsumen.
Kita masih banyak menyaksikan bahwa kasus-kasus kecelakaan angkutan umum, antara lain adalah karena kendaraan yang tidak laik jalan, meskipun tertempel stiker uji kir. Bahkan kita juga menyaksikan banyak kendaraan taksi sudah tua dan terlihat perawatannya tidak meyakinkan konsumen.
Situasi ini yang mendorong gagasan munculnya Grabcar dan Uber yang umumnya menggunakan kendaraan baru. Namun angkutan ini janganlah dilihat sebagai hal baru. Sudah lama ada angkutan ‘’plat hitam’’ yang beroperasi di banyak kota. Bedanya dulu tidak menggunakan aplikasi online. Bahkan sekarang juga banyak yang amsih demikian. Angkutan ini terus ada karena pemerintah ‘’tutup mata’’, atau ada aparat yang ‘’main mata.’’
Jadi, soal Grabcar dan Uber haruslah menjadi langkah awal untuk membenahi banyak hal yang terkait dengan masalah angkuan umum. Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan telah meminta agar pemerintah daerah menyelesaikannya.
Beragam Angkutan Umum
Di Indonesia, angkutan umum, memang beragam dan nyaris bisa dikatakan kendaraan apa saja bisa menjadi angkutan umum. Angkutan darat saja sudah begitu banyak. Kendaraan roda dua yang digunakan untuk mengangkut penumpang dan berbayar yang selama ini dikenal adalah sepeda (ojeg sepeda) seperti di Jakarta Kota. Kendaraannya tanpa kir dan ‘’pengemudinya’’ tanpa SIM. Di mana-mana juga ada ojek sepeda motor, yang tanpa kir dan ada yang beroperasi tanpa SIM.
Kendaraan roda tiga yang beroperasi adalah becak, dengan berbagai bentuknya, Bajaj dengan bahan bakar gas atau premium. Namun banyak sepeda motor yang ditambah satu roda menjadi angkutan umum. Ada yang penumpangnya di depan, sebagian dengan model penumpang di belakang.
Kendaraan roda empat atau lebih, juga begitu beragam, dari taksi angkutan kota atau pedesaan, bus dan truk, dan kereta api. Di banyak daerah truk menjadi angkutan penumpang, bahkan bersama barang-barang yang lain.
Begitu unik dan beragamnya dan kita juga melihat angkutan tradisional yang masih beroperasi, seperti gerobag dan dokar (beroda dua atau empat) yang ditarik hewan. Bahkan di jalur rel kereta api yang tidak digunakan ada angkutan untuk umum beroda besi yang menggelinding di atas rel. Angkutan ini misalnya eksis di Jakarta Utara dan sudah bertahun-tahun.
Respons pada Kebutuhan
Kehidupan masyarakat telah mendorong pada kebutuhan yang beragam untuk angkutan umum, terutama di darat dan air. Ketika angkutan umum tidak dikelola sebagai pelayanan publik (publik services) oleh pemerintah, maka ‘’kreativitas’’ muncul karena kebutuhan dan tekanan keterbatasan lapangan kerja.
Mengharuskan pengelola semua jenis angkutan umum memenuhi ketentuan hukum memang hal baik, karena menyangkut perlindungan bagi publik dan konsumen. Namun praktik ‘’kepalsuan’’ dalam penegakkan hukum justru menjadi masalah yang sangat serius, terutama jika menjadi sarana aparat melakukan pungutan liar.
Dalam konteks ini, pemerintah, daerah maupun pusat, perlu secara serius membenahi angkutan umum, jangan terbatas meributkan soal Grabcar dan Uber. Fokus harus pada kepentingan publik akan angkutan umum yang layak, aman dan nyaman serta dengan tarif yang awajar. Perbaikan ini mendesak, dan diperlukan untuk membangun kekuatan ekonomi dan membuka peluang kerja.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...