Ulama Pakistan Terbitkan Fatwa Transgender Boleh Menikah
LAHORE, SATUHARAPAN.COM - Lewat sebuah fatwa yang terkesan mengejutkan, 50 ulama Islam di Pakistan pada hari Minggu (26/6) menyatakan bahwa transgendar berhak menikah dan melakukan pernikahan di bawah agama Islam. Para transgender juga berhak dimakamkan secara Islam, dan berhak mewarisi properti.
Hal itu dilaporkan oleh Reuters dan media lokal di Pakistan sebagaimana diberitakan oleh The Washington Post, 28 Juni. Fatwa itu juga mengatakan bahwa negara harus melindungi para transgender.
"Kita harus menerima mereka sebagai ciptaan Tuhan juga," kata Zia-ul-Haq Naqsyabandi, yang memimpin sebuah organisasi Islam yang menerbitkan fatwa itu.
"Siapa pun yang memperlakukan mereka dengan buruk - masyarakat, pemerintah, orang tua mereka sendiri - adalah orang berdosa."
Kendati demikian, beberapa kelompok hak asasi mengatakan, putusan itu membingungkan. Fatwa itu dinilai belum cukup untuk melindungi hak-hak transgender, yang sering menghadapi kekerasan dan pelecehan di Pakistan.
Fatwa itu menyatakan bahwa transgender "dengan karakteristik pria" boleh menikahi wanita atau transgender "dengan karakteristik perempuan," dan sebaliknya. Namun, tidak ada detail tentang sifat karakteristik tersebut dan tidak menyinggung perihal orang-orang yang telah menjalani operasi ganti kelamin.
Tapi aktivis lain menyambutnya sebagai sebuah langkah awal menuju hak hukum penuh untuk para transgender melalui pengadilan Pakistan.
Keputusan itu juga menggambarkan kompleks, beragam dan kontradiktifnya masyarakat Pakistan. Negara dengan penduduk 180 juta yang mayoritas Muslim itu telah melahirkan kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan sektarian yang berafiliasi dengan Taliban dan al-Qaeda. Negara ini juga memiliki salah satu hukum yang paling parah di dunia terhadap penistaan agama Islam. Tetapi Pakistan juga memiliki minoritas Kristen yang cukup besar dan merupakan rumah bagi sufi mistik, dimana para penyair dan musisi menngkampanyekan kerukunan dan perdamaian.
Pakistan selama ini melarang homoseksualitas dan tidak memungkinkan homoseksual untuk menikah.
Sementara itu hak-hak perempuan telah menjadi semakin konservatif sejak 1980-an, ketika penguasa militer Muhammad Zia-ul-Haq memimpin periode "Islamisasi," di mana laki-laki akan mendapat hukuman cambuk apabila kedapatan minum alkohol dan wanita dipenjara karena perzinahan. Hukum melarang "pembunuhan demi kehormatan" dan kriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga telah menarik oposisi yang kuat dari para pemimpin Islam, Dewan ulama nasional memutuskan bulan lalu bahwa Al-Quran memungkinkan laki-laki untuk memukul istri mereka "ringan."
Pakistan juga memiliki tradisi Asia Selatan yang panjang yang menerima waria dan orang-orang dari jenis kelamin non-tradisional sebagai bagian dari masyarakat. Beberapa kasim dan lain-lain telah dilihat sebagai orang yang memiliki kekuatan mistik. Mereka telah memiliki pemimpin dan organisasisi yang telah lama berjuang untuk hak-hak mereka, dan pengadilan memutuskan pada tahun 2012 bahwa mereka harus diberikan kuota pekerjaan dan kartu penduduk sebagai minoritas yang diakui.
Hanya saja mereka tetap terpinggirkan dari masyarakat arus utama, dan banyak bekerja sebagai pelacur, pengemis dan penghibur. Pria mengenakan kostum perempuan dan ber make up adalah pemandangan akrab di festival dan kuil publik.
Dalam beberapa kasus, orang-orang transgender terintimidasi dan bahkan dibunuh. Fatwa yang dikeluarkan pada hari Minggu mendesak rakyat untuk berbuat baik kepada mereka, mengatakan bahwa "mengolok-olok mereka, menggoda mereka atau menganggap mereka sebagai inferior adalah melawan hukum syariah, karena tindakan tersebut menghina salah satu ciptaan Allah."
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...