Ulil: Jokowi Butuh "Boediono Factor"
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tingkat kepuasan publik terhadap Pemerintahan Jokowi-JK yang terpuruk ke level 40 persen menurut berbagai lembaga survei akhir-akhir ini, mendatangkan komentar dari cendekiawan Muslim, Ulil Abshar Abdalla. Menurut dia, salah satu kelemahan Pemerintahan Jokowi-JK adalah kurangnya kepercayaan (lack of confidence). Dan lemahnya kepercayaan dapat menggagalkan kebijakan.
"Pemulihan ekonomi saat krisis tak saja bergantung pada kebijakan yang tepat, tapi juga ada faktor 'subjektif' seperti kepercayaan pasar pada tim ekonomi," tulis Ulil melalui akun Twitternya.
Menurut dia, indikator ekonomi dewasa ini kurang menggembirakan.
Indikator ekonomi selama kurang lebih setahun pemerintahan Jokowi. Hampir semuanya merah. Harus segera diatasi. pic.twitter.com/nOgmVQmuHV
— Ulil Abshar Abdalla (@ulil) July 23, 2015
"Confidence atau kepercayaan bisa membuat banyak hal menjadi lain dan berbeda. Lack of confidence bisa juga menggagalkan sebuah kebijakan," lanjut dia.
Ulil membandingkan Pemerintahan Jokowi-JK dengan masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. "Zaman Mega dan SBY dulu, ada faktor Boediono dan Sri Mulyani yang berhasil memenangkan confidence dari pelaku pasar. Saat ini yang kurang pada pemerintahan Jokowi adalah confidence itu serta apa yang ingin saya sebut sebagai lack of Boediono factor," kata dia.
Menurut Ulil politik kerap kali berurusan dengan persepsi. Dan persepsi publik terhadap pemerintahan sekarang ini, menurut Ulil, adalah "pemerintah seperti kurang koordinasi. Statement kerap tabrakan."
Ia mengakui, Jokowi naik sebagai presiden dalam situasi global yang agak sial: pertumbuhan ekonomi dunia melambat dan boom harga komoditas sudah berlalu.
"Tetapi justru di situlah tantangan Jokowi: bisakah dia mengatasi 'constraint' lingkungan ekonomi global yang sedang tak ramah ini," tanya dia.
Menurut dia, SBY juga pernah menghadapi krisis ekonomi global pada 2008 dan dia dapat melewatinya. Itu yang kini harus dapat dibuktikan Jokowi. "Ekonomi kacau, bisa bahaya. Kerusuhan-kerusuhan sosial di Indonesia biasa terjadi saat ekonomi buruk," kata dia.
Menurut Ulil, Jokowi harus mengubah persepsi di masyarakat yang menyatakan bahwa "Jokowi adalah orang baik, tapi tampaknya kurang kompeten. Ini persepsi publik yang harus diubah! Saya sangat khawatir jika pilkada serentak akhir tahun ini berlangsung dalam keadaan ekonomi yang buruk. Bisa jadi masalah keamanan yang serius."
Kata dia, harapan publik kepada Jokowi teramat besar, lebih besar dari era SBY. Ia menambahkan, Jokowi saat ini masih punya modal politik yang lumayan besar untuk pulihkan keadaan. Minimal, kata dia, tak ada media besar yang menghajar dia ramai-ramai seperti di masa SBY.
"Jangan sampai negeri ini terjerembab pada 'middle income trap' seperti yang dialami oleh negeri-negeri seperti Brasil," tutur dia.
Hari ini survei MasterCard menyebutkan tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia terhadap perekonomian menghadapi kerusakan ekstrem pada paruh pertama tahun 2015, jatuh paling terpuruk di Asia karena memburuknya prospek ekonomi dan pasar saham, menurut survei yang diselenggarakan MasterCard Inc.
Indeks kepercayaan konsumen RI anjlok 25,8 poin dibandingkan dengan paruh kedua tahun lalu menjadi 64,3 merupakan penurunan paling curam di antara 17 pasar di kawasan. Belanja pemerintah yang lemah telah memberikan kontribusi bagi perlambatan ekonomi, sedangkan birokrasi dan peraturan yang saling bertentangan masih tetap jadi hambatan untuk melakukan bisnis.
Survei Litbang Kompas juga menunjukkan hal serupa. Ketidakpuasan masyarakat atas kinerja ekonomi Jokowi-JK dominan, mencapai 60 persen dalam survei yang dilakukan pada 25 Juni hingga 7 Juli 2015.
Editor : Eben E. Siadari
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...