UNESCO Minta Pembunuh Wartawan Diadili
PARIS, SARTUHARAPAN.COM – Direktur UNESCO, Irina Bokova, mendesak pihak berwenang di Republik Demokratik Kongo untuk membawa pembunuh jurnalis televisi ke pengadilan.
Marcel Lubala tewas di rumahnya di Mbuji-Mayi, di Kongo tengah, pada 14 November malam oleh orang-orang bersenjata. Pria berusia 59 tahun itu sudah 15 tahun bekerja untuk saluran televisi RTNC sebagai penyiar untuk acara kebersihan dan lingkungan.
"Saya mengutuk pembunuhan terhadap Marcel Lubala. Wartawan harus bisa melakukan pekerjaan mereka menginformasikan pada warga negara tanpa ketakutan atas hidup mereka," kata Bokova dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan di Paris.
"Saya minta pemerintah untuk melakukan penyelidikan menyeluruh dan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini akan dibawa ke pengadilan," katanya.
Menurut pihak berwenang di Provinsi Kasai-Oriental, di mana Mbuji-Mayi dibunuh, penyelidikan telah dilakukan dan lima orang telah ditangkap.
Tapi berbagai lembaga hak-hak media mengecam fakta bahwa pembunuhan itu terjadi selama jam malam (10:00-05:00), ketika pasukan keamanan setempat seharusnya mengamankan kota.
Aktivis Jpers setempat juga mengecam adanya peningkatan serangan yang menargetkan pers. Joseph Tshilunde, presiden Persatuan Nasional Pers Kongo (UNPC), mengatakan kepada AFP bahwa Lubala adalah "jurnalis ke-16 yang tewas di Kongo dalam 10 tahun terakhir dan terlalu sering para pelaku tidak dihukum".
Kongo dilanda aksi kekerasan baru-baru ini yang dipicu oleh krisis politik akibat pemilihan presiden tertunda dari rencana sebelum akhir tahun ini.
Presiden Joseph Kabila telah berkuasa sejak tahun 2001, ketika ia menggantikan ayahnya Laurent Kabila, yang dibunuh.
Joseph Kabila secara konstitusional dilarang ikut pemilihan ulang setelah menjabat dua periode, dan lawan politiknya menuduh penundaan pemilu merupakan bagian dari upaya untuk terus berkuasa.
Protes anti Kabila juga ditekan oleh polisi, dan pihak berwenang menggunakan berbagai cara untuk menekan pers. Pemerintah Kabila sering memblokir media asing seperti Radio France International setiap kali pendukung oposisi mengorganisir aksi protes.
Sepuluh hari lalu, pemerintah juga mengeluarkan dekrit yang melarang penyiaran asing, dan memberi waktu satu bulan untuk menyerahkan saham mayoritas perusahaan mereka kepada penduduk setempat. Langkah ini dikritik oleh PBB.
Kongo pada tahun 2016 masuk dalam peringkat 152 dari 180 negara dalam kebebasan pers yang dikeluarkan Reporters Without Borders.
Editor : Sabar Subekti
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...