UNHCR: 400 Pengungsi Rohingya Dua Pekan Terombang-ambing di Laut Andaman
Mereka dilaporkan kehabisan makanan dan mesin kapal rusak.
BANGKOK, SATUHARAPAN.COM-Badan pengungsi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada Senin (4/12) memberikan peringatan adanya sekitar 400 Muslim Rohingya yang diyakini berada di dalam dua kapal yang dilaporkan kehabisan perbekalan dan terombang-ambing di Laut Andaman.
UNHCR khawatir semua penumpang bisa meninggal jika tidak ada upaya untuk menyelamatkan mereka, kata Babar Baloch, juru bicara regional badan tersebut yang berbasis di Bangkok.
“Ada sekitar 400 anak-anak, perempuan dan laki-laki yang akan menghadapi kematian jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang putus asa ini,” katanya kepada The Associated Press. Kapal-kapal tersebut tampaknya berangkat dari Bangladesh dan dilaporkan telah berada di laut selama sekitar dua pekan, katanya.
Kapten salah satu kapal, yang dihubungi oleh AP pada hari Sabtu (2/12), mengatakan ada 180 hingga 190 orang di dalamnya, mereka kehabisan makanan dan air dan mesinnya rusak. Kapten kapal, yang bernama Maan Nokim, mengatakan dia khawatir semua penumpang akan mati jika mereka tidak menerima bantuan.
Pada hari Minggu, Nokim mengatakan kapal tersebut berada 320 kilometer (200 mil) dari pantai barat Thailand. Seorang juru bicara angkatan laut Thailand, yang dihubungi hari Senin (4/12), mengatakan dia tidak memiliki informasi tentang kapal tersebut.
Lokasinya kira-kira berjarak sama dari provinsi paling utara di Indonesia, Aceh, tempat perahu lain yang membawa 139 orang mendarat pada hari Sabtu (2/12) di Pulau Sabang, di ujung Pulau Sumatera, kata Baloch. Mereka termasuk 58 anak-anak, 45 perempuan dan 36 laki-laki, jumlah rata-rata dari mereka yang melakukan perjalanan laut, katanya. Ratusan lainnya tiba di Aceh bulan lalu.
Ada eksodus musiman warga Rohingya, biasanya dari kamp pengungsi yang kumuh dan penuh sesak di Bangladesh. Jumlah warga Rohingya yang melarikan diri dari kamp meningkat sejak tahun lalu akibat pemotongan jatah makanan dan meningkatnya kekerasan geng yang membuat penghuni kamp khawatir akan nyawa mereka.
Sekitar 740.000 Muslim Rohingya telah meninggalkan Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ke kamp-kamp di Bangladesh sejak Agustus 2017, setelah kampanye kontra-pemberontakan yang brutal menghancurkan komunitas mereka. Pasukan keamanan Myanmar dituduh melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah warga Rohingya.
Pengadilan internasional sedang mempertimbangkan apakah tindakan mereka merupakan genosida.
Sebagian besar pengungsi yang meninggalkan kamp melalui laut berusaha mencapai Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di sana. Thailand, yang dicapai dengan beberapa perahu, menolak atau menahan mereka. Indonesia, negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, juga menempatkan mereka dalam tahanan.
Baloch mengatakan jika kedua perahu yang terkatung-katung itu tidak diberi bantuan, dunia “mungkin akan menyaksikan tragedi lain seperti yang terjadi pada Desember 2022, ketika sebuah perahu dengan 180 orang di dalamnya hilang dalam salah satu insiden paling kelam di kawasan ini.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...