Uskup Minta AS Jangan Tutup Pintu bagi Imigran
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Kepala dari US Bishops Committee on Migration atau Komite Migrasi dari Keuskupan Amerika Serikat, Joe Vasquez, dari Austin, Texas, meminta Pemerintah Amerika Serikat (AS) menghentikan kebijakan pembatasan imigran karena kebijakan tersebut salah.
“Kami terganggu dengan konsekuensi yang ditimbulkan terhadap sekelompok orang yang berhubungan dengan perintah eksekutif yang berhubungan dengan penerimaan pengungsi dan larangan perjalanan,” kata Vasquez pada hari Senin (6/3).
Vasquez mengatakan saat ini keuskupan menilai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat berpotensi menimbulkan banyak korban jiwa.
“US Catholic Bishops sejak lama menyadari pentingnya keselamatan publik dan akan menyambut langkah yang wajar dan perlu,” kata dia.
US Catholic Bishops, kata dia, menilai sejumlah imigran sejak lama sudah mengalami proses pemeriksaan yang paling ketat di Amerika Serikat. “Saat ini kami melihat tidak ada manfaatnya bila menghentikan masuknya imigran,” kata dia.
Wakil presiden Catholic Relief Services untuk advokasi dan hubungan dengan pemerintah, Bill O'Keefe, mengatakan dengan banyaknya imigran yang berada di Amerika Serikat (AS) sejak Perang Dunia II, seharusnya sejumlah pemimpin dunia menangguhkan berbagai kebijakan terkait dengan imigran.
Trump pada hari Senin (6/3) mengeluarkan perintah eksekutif yang telah direvisi berkaitan dengan imigrasi dan penerimaan pengungsi. Perintah yang baru tersebut merupakan pembatalan terhadap surat perintah sebelumnya.
Walau saat ini terdapat pembatasan 120 hari penerimaan imigran, saat ini Donald Trump membatasi migran masuk ke Amerika Serikat hingga 50.000 jiwa saja untuk tahun fiskal 2017. Bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, Barack Obama tercatat menerima lebih dari 85.000 pengungsi di tahun fiskal 2016, di antara pengungsi tersebut 12.000 imigran berasal dari Suriah.
O’Keefe mencatat saat ini pihaknya telah menerima lebih dari 5.000 imigran telah diterima tahun fiskal ini, yang berarti di bawah kebijakan baru – di bawah kepemimpinan Trump – sangat sedikit pengungsi akan diterima dari Maret hingga September 2017.
“Pemindahan 50.000 pengungsi dalam satu tahun, atau mengalami penurunan sebanyak 110.000 jiwa, tidak mencerminkan kebutuhan, dan kemampuan sebagai bangsa,” kata Vasquez.
“Kami memiliki kemampuan untuk terus membantu mereka yang paling rentan di antara kita tanpa mengorbankan nilai-nilai kita sebagai orang Amerika atau keselamatan dan keamanan bangsa kita,” kata Vasquez.
O’Keefe mengemukakan saat ini terdapat sejumlah krisis kemanusiaan di seluruh dunia, antara lain perang sipil Suriah sejak 2011. Konflik tersebut menyebabkan lebih dari 11 juta orang mengungsi, selain itu masih ada juga konflik besar di Irak, Nigeria, dan Ukraina. Sementara itu, kata dia, kelaparan di Afrika dan Timur Tengah memburuk.
Dia mengemukakan dengan berkaca kepada situasi di seluruh dunia tersebut, dia mengimbau AS perlu meningkatkan bantuan kemanusiaan dan membantu setiap orang dimanapun juga.
“AS perlu memberi perhatian kepada orang-orang yang paling rentan dan yang melarikan diri dari kekerasan,” kata dia.
O’Keefe mengatakan proses pemeriksaan imigran secara keseluruhan akan memakan waktu setidaknya dua tahun.
Larangan yang dikeluarkan Trump tidak terbatas pada pengungsi asal Suriah. “Menjadi (warga negara) Suriah tidak mempengaruhi proses pemeriksaan di imigrasi yang dijalani seseorang,” kata dia.
Penganiayaan terhadap umat beragama merupakan salah satu yang mendasari pemerintahan Donald Trump saat ini dalam menilai imigran.
Dia mencatat sejumlah pemimpin gereja lokal yang mengatakan bahwa bila dilakukan penyebutan khusus tidak akan membantu, dan malah memberikan bahaya besar bagi imigran tersebut.
Namun, beberapa telah mendorong status pengungsi khusus bagi imigran yang berasal dari agama yang teraniaya atau kelompok minoritas, seperti dikemukakan wakil presiden dan perencana stragegis Knights of Colombus, Andrew Walther, yang mengatakan bahwa status imigran khusus diperlukan untuk mereka yang berada di Suriah.
“Sebagai bagian dari tinjauan prosedur penerimaan pengungsi, proses rujukan UNHCR (badan PBB yang membidangi imigran dan pengungsi) harus diteliti, dan ketidakadilan yang menimpa sejumlah pengungsi asal Suriah yang mengaku dari kelompok yang ditargetkan untuk genosida harus diperhatikan," kata Walther.
Dia mengatakan imigran harus terlebih dahulu mendaftar ke UNHCR untuk memenuhi persyaratan untuk pemukiman kembali. (catholicnewsagency.com)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...