Vaksin Palsu: Skandal Medis Paling Mengerikan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Bambang Soesatyo menilai kasus pemberian vaksin palsu untuk bayi di bawah lima tahun (Balita) merupakan skandal layanan medis paling mengerikan yang pernah terjadi di negara ini.
“Polri wajib menyelidiki skandal ini mulai dari awal, karena kejahatan yang terkoordinasi ini sudah berlangsung sejak tahun 2003. Rentang waktu praktik kejahatan vaksin palsu sangat panjang, karena baru terkuak pada paruh pertama 2016 ini. Ada sekumpulan predator balita dibalik skandal layanan medis ini,” kata Bambang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (18/7).
Hingga akhir pekan lalu, kata Bambang bahwa Mabes Polri sudah menetapkan tiga dokter sebagai tersangka, dari total puluhan tersangka. Identitas 14 rumah sakit pengguna vaksin palsu dan delapan bidan pemberi vaksin palsu sudah diungkap .
“Skandal ini patut dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat mengerikan karena sebagian besar tersangka pelaku justru memiliki keahlian di bidang pelayanan medis. Selama belasan tahun, para predator balita itu menyuntikan vaksin palsu kepada ribuan balita di belasan provinsi,” kata dia.
Menurut Bambang, jumlah tersangka seharusnya memang terus bertambah karena pengusutan kasus ini belum tuntas. Apalagi, produksi, distribusi dan pemberian vaksin palsu kepada balita sudah berlangsung sejak tahun 2003.
“Mengungkap peran dan keterlibatan para tersangka saja tidak cukup. Untuk kejahatan yang satu ini, penyelidikan polisi harus komprehensif,” kata dia.
Selain itu, kata Bambang, Mabes Polri telah mengakui bahwa proses pengungkapan kasus ini berawal langkah polisi mendalami laporan masyarakat tentang kematian sejumlah bayi setelah diimunisasi. Maka, untuk untuk memberi gambaran kepada publik tentang dampak kejahatan ini, Bareskrim Polri layak untuk mengungkap jumlah korban selama ini, termasuk dampak lain bagi balita yang menerima vaksin palsu. Wilayah peredarannya bisa saja mencapai lebih dari 17 provinsi.
“Presiden Joko Widodo sudah menggambarkan kasus ini sebagai kejahatan luar biasa. Maka, penyelidikan oleh Polri tidak boleh setengah-setengah. Kasus-kasus vaksin palsu terdahulu yang proses hukumnya tidak wajar harus dibuka kembali. Kasus vaksin palsu pernah diungkap tahun 2008, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan vaksin Anti Tetanus Serum (ATS) palsu. Kasus itu ditutup dengan alasan yang tidak jelas,” kata dia.
Tahun 2013, kata Bambang, terungkap lagi kasus vaksin palsu dengan dua tersangka, tetapi satu tersangka bisa melarikan diri. Pelaku yang tertangkap pun hanya dikenai hukuman denda Rp 1 juta.
“Para vaksinolog melihat ada kejanggalan pada proses hukum dua kasus vaksin palsu terdahulu itu,” katanya.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...