Wahi: COVID-19 Bukti Fase Krisis pada Perayaan Hari Bumi
JAKARTA, SAATUHARAPAN.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan pandemi COVID-19 yang menyebabkan kepanikan dunia seharusnya menyadarkan manusia sedang hidup dalam fase krisis di Hari Bumi.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam pernyataannya menyambut Hari Bumi yang diterima di Jakarta, Rabu (22/4), mengatakan pandemi COVID-10 membuat peringatan Hari Bumi, tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena mengakibatkan seluruh Bumi diwarnai kepanikan dan sadar sedang hidup dalam fase krisis.
Krisis tersebut, menurut dia, lebih besar dibandingkan krisis multidimensi yang sebelumnya disebutkan Walhi pada Januari 2020. Kali ini terjadi lebih luas, tidak sekadar di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi mewarnai kehidupan umat di seluruh Bumi.
“Salah urus negara, salah urus Planet Bumi, menyadarkan kita bahwa Bumi yang kita huni tidak lagi aman. Ia tidak lagi mampu menahan beban kerusakan lingkungan hidup akibat praktik rakus investasi,” ujar dia.
Perlakuan tidak adil segelintir manusia terhadap sesama manusia lain, flora dan fauna, mengakibatkan Bumi dihantui COVID-19. Virus ini dan 60 persen penyakit menular lain merupakan penyakit zoonosis yang berasal dari penularan hewan, di mana lebih dari dua per tiga-nya berasal dari satwa liar.
Laporan UNEP pada 2016 menyebutkan aktivitas intensifikasi pertanian, industrialisasi dan perambahan hutan yang mengakibatkan perubahan lingkungan, merupakan penyebab utama kemunculan penyakit zoonosis, kata aktivis lingkungan yang akrab disapa Yaya itu.
Menurut dia, digdaya ekonomi kapitalistik tidak dapat dibantah sebagai penyebab utama laju kerusakan Bumi. Tidak hanya bersumbangsih pada lahir dan mewabahnya berbagai jenis penyakit, model ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang itu juga mengantar mayoritas penduduk Bumi pada ancaman krisis lainnya.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memprediksi pada Mei 2020 dunia mengalami ancaman krisis pangan (FAO, April 2020). Tentunya Indonesia dapat mengalami hal serupa, ujar dia.
“Data BPS memperlihatkan ketergantungan kita pada impor kebutuhan pangan yang sangat tinggi akan berpotensi mengantar Indonesia dalam krisis pangan. Kebanggaan sebagai salah satu negara penghasil pulp, kertas, kelapa sawit dan tambang, sama sekali tidak berkohesi untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis pangan,” katanya.
“Penyerahan harga pada pasar pun memutar logika kemanusiaan. Kelangkaan dan harga mahal alat kesehatan menguntungkan segelintir orang. Siapa yang menolong rakyat? Rasa solidaritas sesama rakyatlah yang menyelamatkan logika kemanusiaan. Di mana negara? Sibuk menyusun sebuah produk hukum RUU Cipta Kerja yang dikenal sebagai Omnibus Law. Produk hukum yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat, pada kemanusiaan, dan lingkungan hidup. RUU ini bahkan mengancam melebarkan ketimpangan dan mempercepat kehancuran muka bumi di wilayah administrasi Indonesia,” Yaya menegaskan.
Sebelumnya, Komite III DPD RI menolak dan meminta DPR agar menghentikan proses pembahasan RUU Cipta Kerja karena dinilai tidak sesuai dengan beberapa hal serta tanpa mempertimbangkan hak pekerja.
“RUU Cipta Kerja bertentangan dengan asas otonomi daerah Pasal 18 ayat 2 dan ayat 5 UUD 1945,” kata Wakil Ketua II Komite III DPD RI M Rahman.
Ia mengatakan pada asas otonomi tersebut mengakui keberadaan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, dan kota, yang menganut asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan. Selain itu, RUU Cipta Kerja dinilai DPD melanggar hak asasi warga negara, di antaranya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, jaminan kesehatan, dan pendidikan yang dijamin serta dilindungi oleh konstitusi serta melepaskan kewajiban negara untuk menyediakan hak-hak itu kepada swasta atau asing. (Ant)
Editor : Sotyati
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...