Walhi: Indonesia Perlu UU Perubahan Iklim
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai Indonesia membutuhkan undang-undang tentang penanggulangan perubahan iklim yang berisi penetapan target penurunan emisi nasional dan mengatur upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
"Undang-Undang Perubahan Iklim harus segera dibentuk, sungguh tidak adil jika dampak perubahan iklim harus ditanggulangi oleh generasi yang akan datang," kata Manajer Kampanye Walhi Edo Rakhman di Jakarta, Senin (22/9).
Ia mengatakan UU tentang penanggulangan perubahan iklim tersebut harus menjadi landasan bagi pemerintah untuk menerbitkan kebijakan dan menjalankan program-program pembangunan.
Pengurangan emisi melalui moratorium hutan primer dan seluruh lahan gambut serta penghentian penggunaan batubara sebagai sumber tenaga listrik menurutnya perlu segera dilakukan.
"Pemerintah harus memaksimalkan sumber-sumber energi terbarukan yang cukup banyak tersedia di Indonesia seperti panas bumi, tenaga matahari, tenaga arus laut, dan sumber-sumber energi biofuel lainnya," katanya.
Indonesia, kata dia, butuh regulasi perundang-undangan yang secara serius mengatur dan menetapkan kondisi dan dampak-dampak perubahan iklim tersebut.
Selain itu, perlu diatur tentang tanggung jawab negara kepada rakyat atas dampak perubahan iklim yang terjadi karena perubahan iklim berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
"Semangat moratorium juga harus dinaikkan level kebijakannya, bisa dimasukkan dalam undang-undang perubahan iklim karena masih sangat mudah dipatahkan dengan kebijakan otonomi daerah," katanya.
Ia mencontohkan moratorium di beberapa daerah yang tidak berjalan optimal karena temuan-temuan Walhi di lapangan bahwa moratorium tidak dianggap penting oleh pemerintah daerah dan korporasi-korporasi yang bergerak di bidang hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.
Instruksi presiden seolah-olah tidak mempunyai kekuatan hukum karena kepala daerah lebih mengacu pada aturan-aturan tata ruang yang telah mereka buat dan berlindung pada kekuatan otonomi daerah sehingga izin perkebunan dapat dikeluarkan sesuai kewenangan dan keinginan kepala daerah.
Faktanya, kata Edo, perubahan iklim berdampak pada segala sesuatu yang berada dalam lingkungan hidup. Kondisi ini tidak cukup hanya dipandang sebagai sebuah fenomena lazim atau proses alamiah semata, tetapi harus dilihat sebagai sebuah dampak dari aktivitas dan campur tangan manusia.
"Seperti kegiatan industri, energi, teknologi, pertanian, pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain. Peningkatan produksi emisi adalah fakta yang berhubungan dengan aktivitas atau campur tangan manusia," katanya.
Saat ini tambahnya, Indonesia merupakan satu dari lima negara penghasil emisi terbesar di muka bumi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.
Meski Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi sebesar 26 persen hingga 2020, dalam faktanya belum mampu untuk melakukan.
Sampai detik ini kata Edo, kebakaran hutan dan lahan gambut masih terus terjadi dan semakin memberikan dampak buruk terhadap masyarakat Indonesia dan bahkan sampai ke negara-negara tetangga. (Ant)
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...