Walhi: Rawa Gambut bukan Lahan tidak Produktif
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengingatkan Kementerian Pertanian bahwa rawa gambut bukan lahan yang tidak produktif, dan karena itu perlakuan terhadapnya harus memperhatikan keutuhan ekosistem.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A Perdana di Jakarta, Rabu (17/10), mengatakan peringatan Hari Pangan Sedunia yang digelar pemerintah melalui Kementerian Pertanian dengan mengangkat tema Pemanfaatan Lahan Rawa harus diletakkan secara hati-hati, agar tidak melihat lahan rawa, atau ekosistem rawa gambut sebagai lahan tidak produktif.
Ia mengatakan, kemampuan ekosistem tidak bisa dipandang parsial, sehingga fungsi dan dampaknya, termasuk bagi produksi pangan, harus dipertimbangkan secara matang.
Ekosistem rawa gambut, menurut dia, memiliki nilai sangat penting, karena mampu menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan hujan tropis biasa, atau tanah yang bermineral.
Indonesia memiliki nilai penting bagi dunia, karena menyimpan setidaknya 57 miliar ton karbon, hal tersebut hanya mampu ditandingi oleh hutan hujan Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon.
Pada 16 Oktober 2018, bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia harusnya bisa menjadi momentum pemulihan ekosistem lingkungan hidup yang lebih baik.
Harus diakui produksi pangan saat ini, menurut Wahyu, sangat dipengaruhi oleh kondisi Lingkungan Hidup. Rusaknya lingkungan hidup cepat atau lambat akan mengancam kedaulatan pangan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia.
Lebih lanjut ia mengatakan, mengubah fungsi ekosistem bukan hanya berdampak pada perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan kerawanannya terhadap bencana ekologis yang pada akhirnya berdampak pada produksi pangan.
Kenaikan suhu bumi saat ini semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan hidup. Pada kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), data Walhi yang diolah (per 1 Januari hingga 25 Agustus 2018) terdapat 2.423 titik panas di Kalimantan, dan 1.155 titik panas di Sumatera.
Dan sebanyak 765 titik panas dari kedua pulau tersebut berada pada kawasan konsesi korporasi (konsesi kehutanan dan perkebunan). Bahkan titik panas tersebut juga terdeteksi pada kawasan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG), di mana sebanyak 783 titik ditemukan di Sumatera dan 536 titik ditemukan di Kalimantan.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) yang terbit pada 8 Oktober 2018, menyatakan pemanasan global akibat aktivitas manusia telah mencapai sekitar satu derajat celsius pada 2017, dibandingkan masa praindustri dan terus meningkat sekitar 0,2 derajat celsius setiap sepuluh tahun.
Jika emisi global terus meningkat dengan kecepatan seperti sekarang, pemanasan global akan melewati batas 1,5 derajat celsius antara 2030 sampai 2052. (Antaranews.com)
Editor : Sotyati
Enam Manfaat Minum Air Putih Usai Bangun Tidur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Terdapat waktu-waktu tertentu di mana seseorang dianjurkan untuk me...