Warga Palestina Tuding Media AS Bias Beritakan Konflik Gaza
SATUHARAPAN.COM – Seorang warga Kristen asal Betlehem, Palestina, Anton Murra, menuding berbagai media massa di Amerika Serikat tak berimbang memberitakan konflik di Gaza. Opininya ia tulis di huffingtonpost.com, Jumat (1/8).
Anton Murra adalah Direktur Program Pengungsi Palang Merah Amerika Serikat. Dia adalah seorang Kristen Palestina dari Betlehem, Tepi Barat. Dia memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman dalam dialog antaragama, inisiatif perdamaian Israel-Palestina, dan pemahaman multikultural. Tujuannya adalah untuk mendorong perdamaian dan keadilan melalui pendekatan strategis yang berkontribusi terhadap perubahan struktural. Demikian tulisnya:
Sebagai warga Palestina yang tinggal di Amerika Serikat, saya harus mengatakan bahwa pemberitaan Fox News dan CNN jauh dengan realitas yang benar-benar dirasakan warga Palestina. Liputan mereka tidak adil dan gagal untuk menyampaikan seluruh kebenaran tentang yang berlangsung di sana. Saya telah secara intensif mengikuti berita sejak penculikan tiga remaja Israel pada 12 Juni lalu dan telah menjadi sangat jelas bagi saya, dan banyak orang lain, bahwa media mainstream di Amerika bias terhadap Israel.
CNN dan Fox menargetkan pembaca yang lebih tua dan berkulit putih. Namun, berdasarkan jajak pendapat terbaru Gallup u menunjukkan bahwa pembaca berumur 18 sampai 29 adalah kelompok usia yang paling mungkin melihat serangan Israel terhadap Gaza sebagai hal yang tidak dibenarkan (dengan media sosial dan kelancaran Internet memungkinkan mereka lebih baik menginformasikan pandangan mereka). Sedangkan, mereka yang disebut Gallup sebagai kaum “non-kulit putih” melihat serangan Israel tidak adil mempunyai perbandingan 2:1. Amerika sedang berubah dengan cepat, secara demografis, tetapi jaringan berita kabel gagal untuk memberikan informasi yang lebih akurat dibandingkan disampaikan di luar sumber-sumber media mainstream.
Media Amerika tampaknya untuk menyajikan situasi di Gaza seolah-olah ada pertempuran yang seimbang antara Hamas dan Israel. Perlu ada pengakuan atas ketidakseimbangan kekuatan dalam konflik ini. Hak Israel untuk mempertahankan diri berulang kali ditekankan. Namun, apa hak bagi Palestina untuk membela diri tanpa kekerasan—atau bahkan dengan kekerasan—dari rumah mereka sendiri terhadap kekuatan yang mengusir ratusan ribu warga Palestina pada 1948 dan masih menyangkal kebebasan Palestina hari ini?
Jumlah korban meninggal Palestina telah melampaui 1.700 sejak eskalasi meletus pada 8 Juli. Sebagian besar korban adalah warga sipil—lebih dari 300 anak-anak terbunuh. Orang-orang di Gaza, terutama anak-anak, telah selamat tiga perang sejak 2008 trauma ini mungkin membutuhkan generasi untuk mengatasi.
Kekerasan saat ini di Gaza menghidupkan kenangan kekerasan yang saya alami di Palestina tempat saya tumbuh. Namun, saya berharap ada langkah-langkah positif menuju perdamaian di kedua sisi, dan untuk transformasi hubungan, sikap, dan interaksi antara Palestina dan Israel. Dunia kita yang makin terhubung memungkinkan kita untuk melihat bahwa konflik tersebut bersifat multidimensional. Dan, dinamika yang terjadi memungkinkan konflik terus selama beberapa dekade mencakup lebih dari sekadar dua aktor dan dua cerita yang berlawanan. Maka, dalam rangka merespons tantangan, kebutuhan, dan realitas di Gaza, kita harus melihat masalah dan penyebabnya secara jelas.
Gaza Penjara Besar
Secara khusus, Gaza adalah penjara terbuka besar. Ini adalah salah satu tempat di dunia yang paling padat penduduknya. Populasi sekitar 1,8 juta penduduk tinggal di 378 km persegi. Blokade Israel di Gaza membatasi arus masuk-keluar orang dan barang, termasuk makanan dan obat-obatan. Tanpa pelabuhan berfungsi dan penutupan perbatasan dengan Israel dan Mesir, prospek ekspor hampir seluruhnya hancur. Situasi di Gaza saat ini sangat sulit dan rakyat tergantung pada barang-barang dasar untuk bertahan hidup di tengah pasukan Israel menembaki rumah, rumah sakit, dan infrastruktur sosial mereka. Ini adalah ghetto yang dibuat Israel.
Media sosiallah yang menyoroti realitas ini jauh lebih banyak daripada media mainstream. Meningkatnya akses ke Internet dan penggunaan media sosial, seperti Twitter dan Facebook, telah menyediakan sarana untuk meningkatkan kesadaran dan memobilisasi dukungan untuk Palestina dengan menyediakan gambar dan kisah kematian warga sipil dan penghancuran perumahan dan infrastruktur sipil, serta video pendek kebrutalan Israel.
Misalnya, rekaman dari pemuda warga Amerika berkebangsaan Palestina, Tariq Abu Khdeir (15) yang secara brutal dipukuli oleh polisi Israel pada 3 Juli tercatat pada smartphone tetangganya. Materi yang direkam, yang dirilis pada Facebook, menggapai pembaca hingga jutaan orang akhirnya diliput media mainstream, meskipun pelecehan yang sedang berlangsung dialami keluarga Abu Khdeir telah diabaikan.
Nelson Mandela menulis bahwa “merdeka tidak hanya untuk membuang rantai seseorang, tetapi untuk hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kemerdekaan orang lain.” Daripada mengkritik—atau lebih buruk lagi, mengabaikan—aspirasi kebebasan Palestina, Amerika harus berbicara tentang hak-hak Palestina untuk hidup sebagai bangsa yang bebas dari pengepungan dan pendudukan Israel. (huffingtonpost.com)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...