SAINS
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja
19:49 WIB | Minggu, 12 April 2015
Warga Singapura Makin Sadar Menyumbangkan Mayatnya
SINGAPURA, SATUHARAPAN.COM - Saat seorang warga Singapura Tee Koon Tiong nanti meninggal, mayatnya akan diberikan kepada ilmu pengetahuan untuk diawetkan dan digunakan sebagai alat mengajar bagi mahasiswa kedokteran.
Tee Koon Tiong seorang manajer 55 tahun dari sebuah perusahaan komunikasi seperti dikutip The Sunday Times pada Minggu (12/4) mengatakan, "ketika aku mati, tubuh saya akan hancur, mengapa tidak dimanfaatkan untuk keuntungan dokter di masa depan?"
Banyak warga Singapura lain yang mulai memiliki pandangan sama dengannya.
Berdasarkan catatan National Organ Transplant Unit (NOTU) Singapura, dalam tiga tahun terakhir, sekitar 1.000 orang telah mendaftarkan tubuh atau mayat mereka supaya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan medis dan penelitian.
Sementara antara tahun 1972 dan 2012, jumlahnya hanya sekitar 400.
NOTU mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tersebut melalui peningkatan program penjangkauan, termasuk melalui online.
Tee Koon Tiong sendiri sadar tentang sumbangan tubuh setelah seorang teman bercerita mengenai hal itu beberapa tahun yang lalu.
"Sebelumnya tak ada keinginan, bahkan tidak terlintas dalam pikiran saya," katanya.
Ia juga membaca artikel tentang bagaimana para mahasiswa National University of Singapore's Yong Loo Lin School of Medicine (YLLSoM) menyumbangkan mayat mereka dengan sebutan "mentor senyap".
Anggota keluarganya juga tidak keberatan, setelah mereka belajar dari Yayasan Buddha Tzu Chi bagaimana sumbangan tersebut dapat bermanfaat bagi dunia kedokteran.
Linda Tee, istrinya yang seorang perawat berumur 51 tahun mengatakan, "ini adalah tindakan amal yang terakhir."
Mayat atau cadaver biasanya digunakan mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, farmasi dan keperawatan di tahun pertama sebagai mata kuliah dasar dalam mempelajari anatomi manusia.
Meskipun ada lompatan besar yang menggembirakan dalam sumbangan mayat tersebut, tetapi sekarang masih banyak kekurangan cadaver untuk pendidikan kedokteran, kata Profesor Bay Boon Huat, Kepala Departemen Anatomi YLLSoM.
"Banyak yang menandatangani perjanjian ini berusia 40 sampai 60," kata Professor Ng Yee Kong dosen di Departemen Anatomi YLLSoM.
Dengan rata-rata harapan hidup 83 tahun di sini, ini akan menjadi tahun-tahun sebelum mayat mulai masuk, jelasnya.
Tahun lalu, YLLSoM menerima 14 mayat dari donor sukarela dan delapan mayat lain yang tidak diklaim. Tapi jumlah banyak tersebut bukanlah jaminan. Ia menerima sembilan mayat pada 2013 dan hanya lima pada tahun 2012.
Tahun ini, hanya ada satu yang disumbangkan dan tiga dari sumber yang tidak diklaim.
Universitas berharap setidaknya 20 mayat untuk setiap tahunnya, kata Prof Bay.
Setiap kelebihan dapat digunakan untuk melatih ahli bedah di masa depan, banyak dari mereka sekarang harus melakukan perjalanan ke Chulalongkorn University di Thailand atau Taiwan Tzu Chi University untuk praktek bedah dari mayat segar yang lebih banyak tersedia di sana.
Sedangkan Duke-NUS Graduate Medical School sebuah perguruan tinggi kedokteran kerja sama antara Duke University di North Carolina, AS dan National University of Singapore, harus mengimpor mayat dari Amerika Serikat, tetapi jelas lebih mahal dan tetap harus dikirim kembali untuk dikremasi.
Mayat biasa digunakan untuk alat mengajar hingga tiga tahun, setelah itu disampaikan kembali pada keluarganya untuk dikremasi.
Janet Sng (79) seorang pensiunan, merasa tersentuh YLLSoM mengirimkan perwakilannya untuk menghadiri upacara kremasi suaminya.
Ia telah menyumbangkan tubuhnya untuk penelitian medis.
"Suami saya memberikan hadiah terbesar untuk kedokteran, yaitu dirinya sendiri," katanya. "Saya berharap ini akan membina generasi dokter terampil yang akan membuat hidup lebih baik bagi kita."
KABAR TERBARU
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...