Wartawan Jangan Malas Uji Kebenaran Informasi di Medsos
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wartawan tidak boleh malas menguji kebenaran sebuah informasi di media sosial. Seluruh sumber informasi yang tersebar melalui media sosial, harus tetap dikritisi dan dicari kebenarannya.
Demikian disampaikan perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Iganatius Haryanto, dalam diskusi 'Jurnalis dalam Riuh Media Sosial', di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, hari Rabu (23/3), menyikapi keriuhan pemberitaan sosok Wiji Thukul dalam sebuah akun Path seorang blogger dengan nama Ndorokakung mengutip perkataan Xanana Gusmao dalam acara pemberian penghargaan bagi 500 pejuang kemerdekaan Timor-Timur, 16 Maret 2016 lalu.
Mendadak, berbagai media mengutip media sosial Ndorokakung dan memberitakan bahwa Wiji Thukul adalah orang Indonesia pemasok dan perakit bom yang dipakai oleh tentara Timor-Leste untuk melawan ABRI. Media juga memberitakan Wiji Thukul datang membantu merakit bom ketika tentara Xanana kehabisan amunisi.
"Wartawan harus rajin mengejar kebenaran. Semua yang ada di media sosial harus dicek, itu hanya digunakan sebagai informasi awal saja," ucap Haryanto.
Menurutnya, dalam era informasi seperti saat ini, media sosial merupakan tantangan bagi dunia jurnalistik. Karena, di media sosial, orang bisa menyembunyikan data diri sesungguhnya atau tidak mengakui sesuatu yang pernah dipublikasikannya sendiri.
Haryanto melanjutkan, wartawan saat ini ditantang untuk memiliah berbagai macam informasi yang ada agar tersaji menjadi sebuah berinta penting dan berguna bagi masyarakat.
"Kalau kita lihat media sosial sekarang, tagar tren saja selalu berubah dalam waktu dua atau tiga hari sekali," ucapnya.
Dia pun menyampaikan perkembangan pesat media sosial saat ini tidak boleh membuat wartawan malas untuk turun ke lapangan. Fungsi media sosial, katanya, hanya sebatas membantu wartawan mendeteksi peristiwa yang terjadi. Namun fakta atau kebenaran, harus tetap dilihat di lapangan.
Bersikap Skeptis
Senada, anggota Dewan Pers, Nezar Patria, menyatakan seorang wartawan harus bersikap skeptis pada media sosial. Bahkan, katanya, sikap skeptis juga harus diterapkan wartawan pada berita yang dimuat di media yang bukan tempatnya berkarya.
"Jangan kan media sosial. Berita yang dimuat media lain pun kita harus skeptis karena belum tentu benar," tuturnya.
Menambahkan, Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho, wartawan harus memiliki sikap skeptis menghadapi media sosial. Informasi di media sosial, menurut dia, hanya menjadi bahan yang kemudian diverifikasi ulang kepada pihak terkait.
"Informasi di era media sosial membanjir. Kalau kita tahu banjir paling banyak isinya apa? Sampah. Sikap skeptis itu jadi saringan awal," kata Wisnu.
Tanggung Jawab
Sementara itu, di kesempatan yang sama, Development Manager Open Hivos, Shita Laksmi, tidak hanya seorang wartawan, seluruh pengguna media sosial harus bertanggung jawab dengan segala sesuatu yang dipublikasikan lewat akun media sosialnya.
Terkait pemberitaan sosok Wiji Thukul yang sumber informasinya mengutip akun Path seorang blogger dengan nama Ndorokakung, Shita mengatakan siapapun sosok dibalik pemilik akun tersebut harus bertanggungjawab atas berita yang dikatakannya.
"Harus diakui bahwa standar yang diberlakukan offline sama seperti online. Jangan lah lakukan apa yang di offline tidak boleh, lalu dilakukan di online," kata Shita.
Lebih lanjut, dia juga mengaku skeptis dengan berbagai pemberitaan di media online saat ini. Dia mengaku baru mempercayai kebenaran sebuah berita bila ada lima media yang menyampaikan hal serupa.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...