Wartawan Papua Alami Diskriminasi di Tanah Kelahirannya
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Persoalan diskriminasi rupanya sudah sangat dalam terjadi di Papua. Paling tidak bila membaca apa yang dikatakan oleh Victor Mambor, wartawan dan aktivis media dari Papua. Bukan hanya masyarakat awam Orang Asli Papua (OAP) yang mengalami diskriminasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Wartawan yang OAP pun mengalaminya ketika menjalankan profesinya.
"Saya orang asli Papua, ketika sesuatu terjadi, saya bertanya kepada polisi tentang peristiwa tersebut, tetapi mereka tidak memberikan jawaban kepada saya," kata dia, sebagaimana dilaporkan oleh Asia Pacific Report, hari ini (16/12).
"Teman saya, yang bukan orang Papua, dapat menanyakan hal yang sama dan mendapatkan jawaban," kata dia lagi. Itu sebabnya, menurut Victor, untuk mendapatkan informasi tentang Papua dari pihak berwewenang, ia menugaskan orang yang bukan Papua.
Satuharapan.com mencoba menghubungi Victor Mambor untuk menanyakan hal ini lebih lanjut, namun belum mendapatkan jawaban.
Victor Mambor adalah salah satu pengelola media di Papua, dan sehari-hari ia bergelut mencari berita. Ia merupakan pendiri dan pengelola serta pemimpin redaksi Tabloid Jubi, yang selama ini dikenal kritis bersuara tentang Papua.
Menjadi wartawan yang benar-benar beretika, menurut dia, sulit sekali di Papua. "Jika Anda ingin menjadi wartawan sejati di Papua dan berkomitmen terhadap etika, sangat sulit, (masalahnya) mulai dari bagaimana melaporkan peristiwa hingga soal gaji," kata dia.
"Ada standar ganda terhadap wartawan Papua dan banyak terjadi diskriminasi," kata dia.
Pekerjaan Rumah Tahun 2017
Media internasional selama ini mengeritik Indonesia karena membatasi akses media ke Papua bagi media asing. Namun pada saat yang sama, sebagaimana dikatakan oleh Victor Mambor, wartawan asli Papua juga mengalami diskriminasi, dalam bentuk tidak diberikannya informasi. Pihak berwewenang biasanya mengenali wartawan asli Papua dari nama keluarganya maupun penampilan fisiknya.
Fakta ini perlu dikemukakan mengingat pada 3 Mei tahun depan Indonesia akan menjadi tuan rumah perayaan yang merupakan program UNESCO, yaitu World Press Freedom Day. Menurut Asia Pacific Report, banyak wartawan OAP yang mengeluh bahwa mereka dikenai sensor, atau harus melakukan swa-sensor, disamping menghadapi ancaman yang berbahaya dalam melaporkan apa yang terjadi di Papua.
Awal tahun lalu Presiden Joko Widodo telah menjanjikan akan membuka akses bagi media internasional untuk meliput Papua. Namun menurut Phelim Kine, deputi direktur Human Right Watch untuk Asia, janji itu belum terealisasi, bahkan tidak ada tindak lanjut.
"Tidak pernah ada tindak lanjut berupa keputusan tertulis, sehingga ketika ada retorika untuk membuka Papua, media asing tetap tidak boleh masuk," kata Kine.
"Dan mereka yang diizinkan masuk, mereka akan diawasi bahkan dilecehkan sehingga sulit melakukan reportase yang efektif," kata dia.
Akibatnya, ia mengatakan, hanya sedikit liputan tentang kenyataan di Papua, dimana masyarakat sipil, khususnya di pedalaman, merupakan korban dari kekerasan atas hak sipil, sosial dan ekonomi mereka.
Kekerasan dan Pelanggaran HAM Mendominasi Berita Papua
Ketua Indonesia Media Freedom Committe di World Association Newspapers and News Publisher (WAN-IFRA), Lina Nursanty, mengatakan pelanggaran HAM dan perang suku menjadi berita utama dari Papua. "Kapan saja kita mendengar tentang Papua, selalu tentang perang suku dan pelanggaran HAM," kata dia.
Sebagai tuan rumah World Press Freedom Day tahun depan, kata dia, Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk meyakinkan dunia bahwa negara ini layak sebagai platform bagi kebebasan media.
Tahun lalu ketika Press Freedom Day diselenggarakan di Helsinki, kata Nursanti, isu Papua juga merupakan salah satu topik diskusi utama.
"Perwakilan Dewan Pers mengatakan pekerjaan rumah kita yang terbesar tahun depan adalah kebebasan pers di Papua," tutur Nursanty.
Victor Mambor mengatakan pada World Press Day tahun depan di Indonesia, dia bersedia mengekspos apa yang terjadi di Papua, bahkan jika itu menempatkan keselamatan pribadinya dalam risiko.
"Kita perlu mengambil kesempatan untuk memberitahu dunia tentang apa yang terjadi di Papua," kata Mambor.
"Kita perlu untuk mengatakan bagaimana kita tidak diberikan kebebasan pers dan tentang diskriminasi di sana. Saya sudah melewati paranoia. Saya akan berbicara tentang apa yang terjadi. Saya tidak khawatir. Kadang-kadang Anda harus mengambil risiko. "
WAN-IFRA berencana pada awal 2017 menyelenggarakan perjalanan pelaporan bersama untuk Papua. Inisiatif ini akan melibatkan 10 organisasi media di Indonesia untuk melakukan peliputan bersama selama sepekan, bersama dengan wartawan lokal Papua. Peliputan itu diharapkan dapat mengetengahkan secara rinci tentang isu-isu penting di Papua.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...