Wartawan Suara Papua Diabadikan dengan Penghargaan Jurnalisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Nama wartawan dan pendiri portal berita Suara Papua, Oktovianus Pogau, diabadikan dalam sebuah penghargaan jurnalistik oleh Yayasan Pantau, mulai hari ini dan diharapkan akan diberikan setiap tahun.
Menurut siaran pers Yayasan Pantau, Penghargaan Oktovianus Pogau dimulai pertama kali hari ini, persis setahun sesudah meninggalnya Oktovianus Pogau.
“Kami memilih hari ini, persis setahun sesudah kepergian sahabat kami, Oktovianus Pogau, guna memulai penghargaan di bidang jurnalisme dan keberanian," kata Imam Shofwan, ketua Yayasan Pantau.
Tahun ini penghargaan diberikan kepada Febriana Firdaus, yang saat ini menjadi wartawan freelance, atas keberaniannya, antara lain dalam meliput tragedi 1965 hingga diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang banyak tak dimengerti wartawan.
Pilihan atas nama Oktovianus Pogau untuk penghargaan ini istimewa, selain karena reputasi pribadi Okto, juga adalah karena reputasi portal berita yang dia dirikan. Suara Papua selama ini dikenal kritis dalam menyuarakan pelanggaran HAM di Papua dan sempat diblokir oleh pemerintah.
“Orang Papua bangga pada Okto Pogau. Dia pemuda berani, kritis dan punya prinsip kuat. Di Suara Papua, kami menyuarakan apa yang terjadi di Papua dari kacamata orang Papua. Ini niat besar Pogau untuk ubah cara berpikir orang di luar sana. Penting untuk mengabadikan karya, keberanian, prinsip dan daya kritis tajam yang dimiiki Okto Pogau,” kata Arnold Belau, pemimpin redaksi Suara Papua, di Jayapura.
Oktovianus Pogau, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992 dan meninggal di usia 23 tahun, pada 31 Januari 2016 di Jayapura.
Pada Oktober 2011, dia melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua ketika mereka menyelenggarakan Kongres Papua III di Jayapura untuk Jakarta Globe. Menurut Imam Shofwan, Pogau adalah wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut.
“Dia menelepon saya dan terdengar deru truk dan tembakan,” kata Shofwan.
Pogau juga berani mengambil foto ketika militer dan polisi Indonesia menggunakan kekuatan secara berlebihan. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau mendirikan Suara Papua pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.
Yayasan Pantau mencatat Pogau adalah seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. "Dia tak pernah jadi sekadar jurnalis namun memakai pengetahuan dan jaringan perkenalannya buat mendorong advokasi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial serta budaya orang Papua," demikian siaran pers Yayasan Pantau.
Pilihan ini sering membuat Pogau menghadapi masalah. Dia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat penguasaan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia pernah menjadi anggota organisasi ini –ketika kuliah di Universitas Kristen Indonesia di Jakarta-- namun sadar bahwa dia harus menjaga independensi.
Dia dianiaya polisi ketika meliput demonstrasi KNPB di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak melakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.
Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 meminta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asing. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi total.
Pada 4 November 2016, Kementerian Informasi dan Komunikasi blokir web Suara Papua, media yang didirikan Pogau, tanpa alasan jelas. Menurut Arnod Belau, ini memperlihatkan ketakutan pemerintah Indonesia akan diungkapkannya berbagai kekeliruan kebijakan yang diterapkan di Papua Barat. Blokir dibuka pada 20 Desember 2016 sesudah protes Suara Papua dan advokasi dari LBH Pers.
Coen Husain Pontoh, yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “(Pogau) berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...