Waru, Masuk Daftar Tanaman Antikanker
SATUHARAPAN.COM – Waru tumbuh liar di Indonesia. Tidak banyak dimanfaatkan, kecuali sebagai tanaman peneduh jalan. Tak banyak yang tahu tumbuhan yang secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat diare ini, masuk dalam ensiklopedia tanaman antikanker dari Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi UGM.
Waru, yang memiliki nama ilmiah Hibiscus tiliaceus, L., masih semarga dengan kembang sepatu. Wikipedia menyebutkan tumbuhan ini asli dari daerah tropika di Pasifik barat, yang kemudian tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik, tumbuh alami di pantai-pantai Asia Tenggara, Oseania, dan Australia utara dan timur. Tumbuhan ini selanjutnya diintroduksi ke Australia barat daya, Afrika bagian selatan, serta Hawaii.
Penyebaran yang luas itu juga menyebabkan nama waru berbeda-beda. Dalam bahasa Inggris, tumbuhan ini dikenal dengan nama beach hibiscus, tewalpin, sea hibiscus, atau coastal cottonwood. Di Hawaii, orang menyebutnya hau, dan masyarakat Tahiti menyebutnya purau.
Di Indonesia, tumbuhan ini pun memiliki banyak nama berbeda, seperti baru (Gayo, Belitung, Madura, Makassar, Sumba, Halmahera); baru dowongi (Ternate, Tidore); waru (Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Flores); haru, halu, faru, fanu (aneka bahasa di Maluku). Dr A Seno Sastroamidjojo dalam bukunya, Obat Asli Indonesia (1965), menyebutkan nama lain, yakni beruk dan melanding.
Di Indonesia, tumbuhan ini, seperti ditulis Edison Chrisnanto, Nur Ismiyati, Berlian Dwi Medayati dari CCRC Fakultas Farmasi UGM, mengutip dari Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1991) karya Sri Sugati Syamsuhidayat dan Johnny Ria Hutapea, banyak dijumpai di kawasan pantai yang tidak berawa, di tanah datar, dan di pegunungan hingga ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut.
Waru adalah tumbuhan pohon dengan tinggi 5–15 m.
Wikipedia menyebutkan, daunnya bertangkai, berbentuk bundar atau bundar telur bentuk jantung dengan tepi rata, garis tengah hingga 19 cm. Daunnya bertulang menjari. Sisi bawahnya berambut abu-abu rapat.
Bunga berdiri sendiri atau dalam tandan berisi 2–5 kuntum. Buahnya kotak berbentuk telur, berparuh pendek, beruang lima tidak sempurna, membuka dengan lima katup. Bijinya kecil, dan berwarna cokelat muda.
Akar waru berbentuk tunggang dan berwarna putih kekuningan.
Syamsuhidayat dan Hutapea menyebutkan daun dan akar waru menyimpan kandungan kimia saponin dan flavonoid. Di samping itu, daun waru juga paling sedikit mengandung lima senyawa fenol, sedang akar waru mengandung tanin.
Secara tradisional, akar waru digunakan sebagai pendingin jika sakit demam. Situs hibiscus.org menyebutkan secara tradisional warga Aborigin di Australia mengonsumsi tunas mudanya.
Daun waru, umumnya dijadikan pakan ternak di Asia Tenggara. Daun mudanya, dapat pula dijadikan sayuran, seperti dijumpai di kawasan Polinesia. Di beberapa daerah, daun waru dimanfaatkan untuk menggantikan daun jati dalam proses peragian kecap.
Daun waru yang diremas dan dilayukan, dimanfaatkan sebagai obat bisul. Daun muda yang direbus dengan gula batu dimanfaatkan untuk melarutkan (mengencerkan) dahak pada sakit batuk yang agak berat. Kuncup daunnya digunakan untuk mengobati buang air besar berdarah dan berlendir pada anak-anak. Sebagian orang memanfaatkan daun waru yang masih muda untuk membantu pertumbuhan rambut.
Di Tahiti, daun waru biasa dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan atau alas makan. Kayu waru dimanfaatkan dalam pembuatan kano di Hawaii. Di beberapa wilayah, serat waru juga dimanfaatkan sebagai tali dan bahan pembuat jaring oleh nelayan.
Peneliti di CCRC Fakultas UGM, mengutip dari pustaka yang ditulis Martodisiswojo dan Rajakwangun (1995), menyebutkan bunga waru secara tradisional digunakan untuk obat masuk angin.
Penelitian Chen JJ dan rekan-rekan, yang dimuat dalam jurnal ilmiah pada 2006, berjudul “A New Cytotoxic Amide from the Stem Wood of Hibiscus tiliaceus”, memberikan harapan baru bagi pemanfaatan waru. Mereka mengisolasi beberapa senyawa dari kulit batang waru. Dari uji sitotoksik senyawa-senyawa tersebut, terdapat tiga senyawa yang mempunyai aktivitas antikanker sangat baik.
Editor : Sotyati
Orang Tua Perlu Pantau Emosional Anak Saat Hadapi Konflik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Psikolog klinis anak lulusan Universitas Padjadjaran Dewinta Ariani menga...