Waspadai Kebijakan untuk Pendanaan Pemilu
SATUHARAPAN.COM – Kalangan pengamat politik telah memperingatkan bahwa politik uang telah mendorong korupsi menjadi kejahatan yang bukan saja termasuk kategori luar biasa, tetapi juga menyebar secara masif.
Menjelang pemilihan parlemen 2014 dan disusul pemilihan presiden, partai politik, kandidat anggota parlemen dan kandidat presiden berusaha keras mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk kampanye dan “membeli” suara sebanyak mungkin.
Kasus-kasus korupsi yang tengah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tingkat penyidikan, penyelidikan, sedang dalam proses pengadilan, dan yang sudah divonis, mengindikasikan gejala yang kuat kondisi tersebut.
“Kerakusan” yang luar biasa mengeruk uang negara dan rakyat, bahkan dengan cara yang melawan hukum, dan melawan pernyataan politik mereka sendiri diperkirakan akan terus meningkat seiring makin dekatnya pertarungan dalam pemilihan umum.
Kebijakan dan sepak terjang politisi dan pemerintahan makin banyak yang mengindikasikan adanya “transaksi” yang mencurigakan. Kebijakan dan sikap “dijual” untuk mendapatkan dana terlihat makin marak.
KPU bahkan enggan menyerahkan nomor rekening calon anggota legislatif kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Padahal transparansi ini diperlukan untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran terkait penggunaan dan peroleh dana secara ilegal dalam pemilu.
Beberapa kebijakan menteri dan departemen patus dicermati, karena sangat mungkin terkait dengan hal-hal tersebut di atas yang akan membuat pemilu sebagai momentum perbaikan, justru menjadi lubang besar keterpurukan bangsa.
Beberapa yang pantas disebutkan adalah adanya tuntutan perusahaan tambang yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA). Mereka ingin mengelak hari kewajiban UU No.24/2009 untuk membangun smelter, dan memilih untuk tetap mengekspor mineral mentah.
Ekspor mineral mentah jelas merugikan bagi bangsa ini, bahkan dalam jangka yang panjang. Dan yang mengkhawatirkan akan muncul dispensasi yang akan ditransaksikan untuk kepentingan-kepentingan politik. Ini sinyal yang berbau sangat tidak sedap menjelang pemilihan umum.
Di sisi lain, Menteri Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Dalam peraturan itu dihilangkan keharusan menyediakan 20 persen lahan bagi masyarakat setempat.
Peraturan ini bertentangan dengan sejumlah Peraturan Daerah dan Peraturan Kementerian Kehutanan. Mengapa keluar Permentan yang jelas merugikan rakyat dan menguntungkan pengusaha itu? Kelompok masyarakat sudah menyebutkan adanya bau transaksi peraturan yang sangat berbahaya.
Kemudian Kementerian Kehutanan pun menyebutkan kemungkinan diizinkannya kembali ekspor kayu log, sebuah pernyataan yang sangat naif, ditengah situasi dunia yang terus menyoroti kualitas lingkungan, pembukaan peluang kerja, dan menaikkan nilai tambah produksi lokal. Hal ini patut dicurigai akan jadi kebijakan.
Tiga hal itu adalah contoh dari kebijakan yang membahayakan, dan sangat mungkin mengarah kepada “transaksi” yang makin marak, menjelang pemilihan umum yang tampaknya bersifat “transaksional”.
Ini sebuah keprihatinan dan membutuhkan komponen bangsa yang masih memiliki hati nurani untuk terus mencermati dan mencegahnya. Kewaspadaan akan berbagai “transaksi” harus dipertajam.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...