Wawancara Dekan FE Untar: RI Harus Perbaiki Fundamental Ekonomi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara dan Chief Economist ECBIS Rescons (Economic Business Research & Consulting Service), Dr. Sawidji Widoatmodjo, SE, MM, MBA, menilai pemerintah dalam jangka panjang harus memperbaiki fundamental ekonomi.
Menurut dia, dalam jangka pendek mengatasi melemahnya rupiah bisa saja dilakukan, tetapi masalah akan terulang lagi bila persoalan jangka panjang tidak diselesaikan.
Sawidji Widoatmodjo adalah salah satu ekonom yang diundang oleh Presiden Joko Widodo pada hari Senin (7/9) di Istana Negara. Dalam kesempatan tersebut dia hadir untuk memberikan masukan kepada Presiden Jokowi sebelum mengumumkan diterbitkannya paket kebijakan ekonomi September 1.
Sawidji mengatakan, yang paling penting saat ini adalah menggerakkan ekonomi sektor riel yang ujungnya akan memperbaiki fundamental ekonimi.
“Deregulasi itu sudah bagus, mengurangi segala hambatan di berbagi sektor,” katanya.
Sawidji Widoatmodjo mengatakan hal itu dalam wawancara dengan wartawan satuharapan.com, Melki Pangaribuan, pada hari Jumat, (11/9). Ia diwawancarai untuk memperoleh pandanganya sejauh mana persoalan ekonomi Indonesia di tengah pelemahan nilai tukar rupiah.
Berikut ini selengkapnya wawancara satuharapan.com dengan Sawidji Widoatmodjo.
satuharapan.com: Pemerintah telah mengeluarkan paket Deregulasi September 1. Menurut Bapak, apa yang paling penting dari paket deregulasi itu yang benar-benar akan menggerakkan perekonomian sektor riel?
Sawidji Widoatmojo: Deregulasi memang penting, intinya adalah jangka panjang itu harus memperbaiki fundamental ekonomi. Kalau sekadar jangka pendek mengatasi melemahnya rupiah itu bisa dilakukan, tetapi cara menyelesaikan masalah terulang lagi.
Yang paling penting menggerakkan ekonomi sektor riel, ya adalah fundamental ekonomi. Deregulasi itu sudah bagus, mengurangi segala hambatan di berbagi sektor.
Peraturan-peraturan yang mengada-ada memang harus dihilangkan. Misalnya soal dana pembangunan desa itu.
Bagaimana mungkin lurah diminta membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), kemudian dirapatkan di lembaga seperti DPRnya desa. Itu sangat tidak mungkin. Tetapi itulah peraturannya. Peraturan seperti ini mesti dihilangkan.
Desa dikasih uang saja selesai. Tidak perlu diawasi. Emang lurah bisa buat RPJM? Namanya saja mungkin mereka sulit katakan. Nah yang seperti ini banyak sekali. Waktu itu saya sarankan ini dihapus. Dideregulasi.
Tetapi yang jauh lebih penting lagi adalah semacam “mafia”. Persoalan di Indonesia ini bukan hanya soal deregulasi saja, tetapi riel aktivitasnya justru di sektor mafia-mafia itu. Misalnya daging sapi. Itu kan kartel. Jelas sudah lama.
Sebetulnya, daging sapi itu bisa diimpor kalau sampai di Indonesia cuma Rp 49 ribu. Sekarang berapa? Rp 100 ribuan kan?.
Nah yang kedua, selain deregulasi, memberantas praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat. Karena begini. Rupiah ini turun karena fundamental ekonomi kita tidak kuat. Begitu ada spekulasi pasti kena. Kalau kuat tidak akan bisa.
Fundamental ekonomi itu terutama berkaitan dengan rupiah, dan rupiah itu terkait dengan ekspor. Ekspor harus meningkat atau impor harus dikurangi.
Waktu saya sarankan, kalau ekspor itu tidak mungkin karena mengandalkan bahan baku, satu-satunya jalan ya kurangi impor. Bagaimana caranya? Di situ saya sarankan juga, kita ini menjalankan pembangunan tanpa berbasis budaya.
Akibatnya ya begitu, yang kita produksi bukan apa yang kita bisa, tetapi yang kira-kira bisa begitu misalnya soal elektronik, soal permesinan. Nah kenapa kita tidak kembali ke yang berbasis budaya yang selama ini tidak kita dilakukan.
Misalnya, tiba-tiba batik menjadi sesuatu yang luar biasa kan. Nah sekarang kita semua bangga menggunakan batik, tentunya menyambut baik. Kenapa ini tidak kita replikasikan ke produk-produk lain? Itu saya sarankan supaya kita membangun berbasis budaya kita.
Kalau kita ingin meningkatkan konsumsi dalam negeri, itu mengonsumsi produk dalam negeri bukan impor. Jadi satu, deregulasi itu penting, sudah cukup itu yang dilakukan pemerintah. Kalau perlu ditambah lagi mana yang perlu dipangkas.
Selanjutnya?
Yang kedua, menghilangkan praktik-praktik bisnis yang tidak terpuji, kriminal. Yang ketiga, membangun berorientasi pada budaya.
Untuk apa kita mengonsumsi produk-produk impor kalau di dalam negeri kita tidak dilakukan. Yang ketiga ini, yang bisa melakukan ini adalah leader-leader kita yang dapat memberikan contoh. Pak Jokowi sudah bagus memakai produk dalam negeri.
Ketiga itu yang bisa dilakukan. Dan yang terpenting itu yang nomor tiga, berbasis budaya dan itu yang bisa menggerakan adalah leader yang jelas dan tegas. Kalau Pak Jokowi bisa konsisten dengan sikapnya itu terus, saya kira bagus.
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Paket Deregulasi, nilai tukar rupiah masih terus melemah. Apa penyebabnya?
Itu yang saya katakan tadi, karena kalau soal rupiah itu bukan cuma soal fundamental yang berlaku. Itu soal spekulasi. Nah selama ini, rupiah akan terus melemah karena spekulasi itu. Ini hanya bisa dipatahkan kalau fundamental ekonomi kita kuat. Kita punya banyak dolar. Bagaimana supaya banyak dolar? Yakni ekspornya meningkat atau impornya menurun itu saja. Selama itu tidak bisa dilakukan ya begini terus.
Kalau kebijakan moneter, seperti Bank Indonesia intervensi, kemudian OJK memudahkan pembukaan rekening asing. Ya itu sih okey-okey sajalah tapi itu jangka pendek dan tidak akan menyelesaikan masalah. Yang bisa menyelesaikan masalah ya tadi, fundamental ekonomi dengan tiga hal tadi.
Menurut beberapa perkiraan, pelemahan nilai tukar Rupiah masih akan berlanjut. Apa akibatnya bagi perekonomian Indonesia bila rupiah masih terus melemah?
Ya kalau rupiah terus melemah otomatis secara relatif kita menjadi semakin miskin. Miskin sebagai akibat, sebabnya adalah karena rupiah melemah maka daya beli kita menurun. Daya beli menurun itulah menyebabkan orang menjadi semakin miskin.
Di sisi lain daya beli menurun, harga-harga meningkat terutama produk-produk impor. Nah itu membuat kita menjadi semakin miskin.
Pelemahan nilai tukar rupiah antara lain disebabkan adanya capital outflow atau hengkangnya investor asing dari pasar saham dan pasar obligasi Indonesia. Menurut Bapak apakah hengkangnya investor asing itu murni karena ekspektasi akan kenaikan suku bunga the Fed atau ada faktor dalam negeri yang mendorong mereka keluar?
Ini kan bukan faktor fundamental sebetulnya. Mereka hanya spekulasi seperti air mengalir ke tempat di mana yang rendah. Dalam hal ini, investor itu akan mengalir ke tempat yang mana memberikan return yang tertinggi.
Kalau pemerintah Amerika Serikat menaikan suku bunga tentu returnnya menjadi tinggi kan dalam simpanan dalam dolar, maka mereka out, keluar semua. Nah itu sebenarnya tidak jadi masalah, kalau investor dalam negerinya kuat.
Ini sudah saya katakan sejak waktu krisis tahun 1997. Itu gara-garanya investor kita sangat sedikit. Waktu itu saya jadi konsultan di bursa tahun 1997, waktu itu kita bisa menaikkan jumlah investor menjadi 500 ribu orang. Pada krisis 1997 jadi turun lagi hingga saat ini tinggal 300 ribu investor.
Nah ini, selama bursa kita dikuasai asing, ya selama itu pula kita akan menderita penyakit capital outflow ini. Datang dan pergi, datang dan pergi. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk memperkuat, mencegah capital outflow di pasar modal maka diperbanyak investor dalam negeri.
Bagaimana caranya? Dari sisi bursa tentu broker akan mempromosikan itu. Di sisi lain tentu ada harapan bursa investor itu mendapatkan keuntungan. Selama ini kan bursa itu citranya negatif dari masyarakat akibat trauma.
Kebijakan apa yang menurut bapak perlu diambil pemerintah dalam menstabilkan nilai tukar rupiah?
Ya itu memperbaiki fundamental ekonomi. Fundamental ekonomi yang berkaitan dengan rupiah ya ekspor ditingkatkan atau impor diturunkan, ya itu saja tidak bisa cara lain. Karena semakin ekspor meningkat, itu berarti dolar masuk, maka rupiah menjadi kuat.
Kalau itu tidak bisa ya impor dikurangi, sehingga kita tidak banyak membutuhkan dolar.
Apakah ini termasuk apa yang harus dilakukan Bank Indonesia? Bagaimana sebaiknya?
Kalau dalam jangka pendek, bisalah Bank Indonesia intervensi, itu yang bisa dilakukan kan. Kalau jangka panjang fundamental ekonominya yang mesti dilakukan. Bagaimana? Ya itu tadi, deregulasi itu kan dalam rangka meningkatkan ekspor. Dipangkas semua peraturan-peraturan yang menghambat ekspor. Menghambat produksi itu semua dihapuskan.
Kalau pemerintah tidak mungkin meningkatkan ekspor, ya maka menurunkan impor. Bagaimana caranya? Ya termasuk apa yang saya katakan tadi. Kita mengonsumsi produk dalam negeri semuanya.
Caranya bagaimana? Ya leader kita harus memberikan contoh. Kita sekarang bangga menggunakan batik. Akhirnya, kita bisa mengonsumsi apel malang, kita bisa mengonsumsi manggis dan segala macam dalam negeri semua, tidak ada dalam bentuk impor. Itu sangat menolong dalam jangka panjang secara fundamental.
Replikasi itu peniruan. Jadi kan kalau kita sekarang pada bangga menggunakan batik. Kenapa kita tidak bangga dengan produk yang lain, jamu, kemudian buah-buah-buahan. Nah itu mesti dilakukan akan menurunkan impor.
Kalau itu bisa, jelas maka rupiah akan kuat dan sangat fundamental . Tidak akan bisa lagi diguncang oleh spekulasi. Kalau pun diguncang itu paling sebentar, dan bisa cepat naik lagi. Kalau sekarang ini terus menerus turun padahal kebutuhan dolar kita tidak sebanyak itu. Tetapi karena para spekulan tahu fundamental ekonomi kita itu lemah, ya tetap sajalah begitu.
Apakah kondisi politik saat ini mempengaruhi pelemahan nilai rupiah saat ini?
Kalau politik saat ini tidak begitu berpengaruh. Karena ini murni akibat pukulan dari luar. Dalam negeri tidak banyak kontribusinya saat ini. Sekarang ini pun politisi mau bikin apa dalam posisi sekarang ini?
Siapapun yang menjadi Presiden saat ini akan menghadapi masalah seperti ini. Walaupun politisi ribut pun, akan tahu menghadapi seperti ini. Tidak bisa juga dia berbicara apa-apa. Ya buat gaduh-gaduh politik saja tapi secara ekonomi sepertinya belakangan ini tidak ada pengaruhnya.
Kecuali, dan ini terjadi ya menurut keluhan pak Presiden, tidak gampang itu memangkas peraturan-peraturan itu. Itu akan berhadapan dengan DPR misalnya soal undang-undang. Jadi akan berpengaruh nanti kalau menyentuh ke situ.
Saya kira yang dilakukan presiden, seperti yang disarankan, yang dideregulasi jangan undang-undang dulu. Peraturan-peraturan presiden dan peraturan menteri yang bisa dilaksanakan segera, sedangkan yang undang-undang nanti saja.
Ya nantilah, kalau menyentuh deregulasi dalam bidang undang-undang pasti itu akan ribet. DPR pasti akan tidak rela. Kalau undang-undang ini dibongkar, pastilah DPR akan teriak. Di situlah nanti akan jadi ribut. Ini yang berpengaruh. Sekarang ini belum menyentuh ke sana.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...