Wawancara Imajiner dengan Gus Dur tentang Insiden Tolikara
SATUHARAPAN.COM – Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, semasa hidupnya dipuji sebagai Guru Bangsa oleh karena dedikasinya pada pluralisme, demokrasi dan toleransi. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan ketiga hal ini tidak saja ia semai lewat kolom-kolomnya ketika ia masih aktif sebagai penulis di Prisma, Tempo dan Kompas, juga menjadi bagian dari garis besar kebijakannya ketika ia menjadi presiden ke-4 walaupun dalam masa jabatan yang relatif singkat.
Tidak mengherankan bila menyangkut ketiga isu tersebut, banyak kalangan masih ingin mengacu kepada pemikiran-pemikiran Gus Dur, termasuk ketika insiden Tolikara di Papua terjadi. Bagaimana kiranya pendapat beliau apabila hal ini terjadi di masanya, dan apa yang akan disarankannya kepada pemerintah untuk mengatasinya.
Salah seorang pengagum Gus Dur dan pernah menjadi menteri di pemerintahan yang dipimpinnya, adalah Muhammad .A.S. Hikam. Mantan Menteri Riset dan Teknologi ini, cukup rajin menggali ulang pemikiran-pemikiran Gus Dur mengenai berbagai topik, diantaranya melalui serial wawancara imajiner yang ia sajikan lewat situs resmi miliknya, The Hikam Forum. Dalam sebuah serial wawancara imajiner terbaru, yang ia lansir pada hari Senin (20/7), Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menyajikan percakapan imajinernya dalam suasana Idul Fitri, yang sebagian diantaranya membicarakan tentang Insiden Tolikara.
Satuharapan.com menyajikan pemikiran-pemikiran imajiner Gus Dur ini, dengan harapan dapat menjadi bahan bagi pembaca untuk mendapatkan perspektif yang lebih baik dalam memahami insiden seperti yang terjadi di Tolikara.
M.A.S. Hikam : Soal kekerasan yang masih terus terjadi yang terkait dengan umat beragama. Bersamaan dengan hari Lebaran kemarin, di Tolikara, Papua ada bentrokan antara umat Kristiani dengan umat Islam ketika akan menyelenggarakan salat Id di lapangan. Ada korban-korban kena tembakan yang menewaskan satu orang dan beberapa orang luka. Juga terjadi kerusakan properti, toko-toko dan musala karena aksi pembakaran. Ini pertama kali lho Gus, di wilayah Papua terjadi kerusuhan seperti itu.
Gus Dur: Soal begitu akan terus terjadi kalau masih ada pembiaran dan ketidak tegasan dari Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Khususnya di Papua, sampeyan tahu sendiri pendekatan saya dalam mencegah konflik komunal dan meredam separatisme. Pendekatan budaya, termasuk melalui komunitas dan tokoh-tokoh keagamaan, itu kunci. Bukan hanya penegakan hukum dan keamanan atau ekonomi saja.
M.A.S. Hikam: Tapi ada lho Gus yang menyamakan antara kasus di Papua ini dengan yang dulu panjenengan hadapi di Ambon.
Gus Dur: Hehehe. Kalau dicari-cari kemiripannya tentu saja bisa, tetapi ya harus dipilah-pilah konteksnya. Yang penting baik aparat pemerintah maupun para tokoh adat dan agama mau saling mendengar dan bekerja. Dan pemimpin di Jakarta juga benar-benar memperhatikan rakyat di Papua, baik yang penduduk asli maupun para pendatangnya. Memperhatikan itu bukan soal administrasi, birokrasi, dan keamanan fisik, tetapi juga kesejahteraan dan perlindungan HAM. Hak-hak adat penduduk asli mesti dipahami, dilindungi, dan dijadikan bagian integral dalam keindonesiaan. Prinsipnya, otonomi lokal setuju, separatisme tidak.
M.A.S. Hikam: Kalau soal pengaruh asing dan internasionalisasi oleh kaum separatis itu Gus?
Gus Dur: Internasionalisasi itu sudah jelas akan dilakukan, wong memang sekarang dunia sudah saling tersambung dan terintegrasi. Masalahnya kan Pemerintah dan rakyat Indonesia juga bisa menggunakan jalur internasional untuk mempertahankan integritas NKRI. Kalau tidak mampu menggunakan jalur internasional ya jangan salahkan lawan, salahkan diri sendiri. Malah sebenarnya masyarakat internasional akan lebih suka jika masalah Papua tidak dibawa-bawa keluar karena bisa diselesaikan. Wong ini soal rumah tangga Indonesia kok. Saya lihat ini kan cari gampangnya saja menyalahkan orang lain, tapi lupa dirinya tidak kerja dengan optimal.
M.A.S. Hikam: Kan ada faktor kepentingan negara-negara besar Gus dalam menguasai dan eksploitasi SDA di Papua, sehingga masalah integrasi dan keamanan dijadikan tawar menawar.
Gus Dur: Kalau benar demikian dan kita sudah tahu demikian, kan mestinya diselesaikan dengan diplomasi yang efektif. Berbagai perusahaan besar yang berada di Papua kan juga harus tunduk kepada aturan negara yang berdaulat. Ini berarti negara mesti mampu mengatur mereka juga, jangan sebaliknya. Tapi kalau para penyelenggara negara, termasuk para wakil rakyat dan pemerintah sendiri, atau tokoh-tokoh masyarakatnya juga malah kongkalikong dan/ atau bisa diatur ya repot. Bolak-balik rakyatnya sudah protes supaya perusahaan-perusahaan besar itu dievaluasi dan renegosiasi, tetap saja ndableg.
M.A.S. Hikam: Hehehe.... injih Gus, cekak aos nya lagi-lagi semuanya terpulang pada kemampuan penyelenggara negara dan elite masyarakat.
Gus Dur: Dari dulu intinya ya di situ Kang. Budaya politik kita masih belum jauh beranjak dari peran utama para pemimpin.
M.A.S. Hikam: "Matur nuwun, Gus. Saya mohon pamit dulu ya, sudah rada siang ini.
Gus Dur: Iya Kang, salam saya utk mbakyu dan puteri sampeyan. Semoga sukses sekolahnya.
M.A.S. Hikam: "Amiin Gus, Insya Allah tahun depan sudah lulus S2 nya. Doakan bisa lanjut ke S-3, Gus.. hehehe..."
Gus Dur: Insya Allah, Kang.
M.A.S. Hikam: Assalamu'alaikum, Gus.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...