WCC Bahas Pentingnya Kebebasan Beragama dalam Diplomasi
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Cerdas beragama dan cerdas menyikapi kebebasan beragama dalam diplomasi internasional semakin diperlukan dewasa ini.
Hal tersebut tercermin dalam diskusi panel “Religion and Religious Freedom in International Diplomacy” atau “Agama dan Kebebasan Beragama di Diplomasi Internasional” pada hari Jumat (23/9), di Jenewa.
Menurut situs resmi World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia, oikoumene.org, sesi tersebut merupakan bagian pertemuan ke-33 United Nations Human Rights Council atau Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Dalam pertemuan tersebut turut hadir sejumlah pelapor khusus PBB tentang kebebasan beragama atau kepercayaan, delegasi Uni Eropa untuk PBB di Jenewa, dan Dewan Gereja dunia.
Pertemuan ini dimoderatori oleh guru besar Hak Asasi Manusia dari University of Essex School of Law and Human Rights Centre, Ahmed Shaheed.
Menurut kepala delegasi Uni Eropa (UE) untuk PBB, Peter Sorensen, Uni Eropa membela dan mempromosikan prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak dasar setiap orang di manapun berada.
Sementara menurut anggota dari “House of Lords” atau majelis tinggi parlemen Inggris Raya, Baroness Elizabeth Berridge, menggambarkan pertemuan tersebut merupakan karya Panel Internasional Parlemen untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, jaringan informal anggota parlemen dan anggota legislatif dari seluruh dunia berkomitmen untuk memajukan kebebasan beragama atau berkeyakinan dan memerangi penganiayaan agama.
Selain itu anggota “House Of Lords” lainnya, Baron Singh of Wimbledon atau yang biasa disapa Indarjit Singh merasa khawatir banyak negara melakukan kebijakan luar negeri yang dilandasi keserakahan dan kepentingan ekonomi, bentuk kebijakan tersebut bertentangan dengan HAM.
“Tidak akan ada perdamaian di dunia kecuali kita menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tuhan tidak tertarik label perbedaan yang kita punya. Tuhan tertarik bagaimana umat manusia yang sekaligus umat beragama mengambil sikap,” kata dia.
Direktur “Commission of the Churches on International Affairs (CCIA)” atau Komisi Gereja Urusan Internasional Dewan Gereja Dunia, Peter Prove menyatakan WCC melihat agama murni urusan ranah pribadi, selain itu agama juga sebagai titik acuan dan dasar advokasi publik dalam rangka mencapai keadilan, perdamaian, martabat manusia dan perawatan untuk penciptaan.
Menurut dia menghormati kebebasan beragama merupakan prasyarat mendasar bagi kemajuan demokrasi dan damai masyarakat manusia.
“Situasi sulit agama minoritas di banyak bagian dunia telah semakin menjadi perhatian bagi WCC terutama di kawasan Timur Tengah, keragaman agama dan minoritas agama sangat penting bagi masyarakat yang sehat dan berkelanjutan perhatian kami adalah untuk peka terhadap situasi. Komunitas agama minoritas ke pusat urusan internasional, mengakui persamaan hak semua,” kata Prove.
Pelapor khusus PBB tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan, Heiner Bielefeldt mencatat masyarakat di dunia perlu memahami sekularitas sebagai ruang terbuka, tidak ruang kosong. “Agama harus terlihat dan terdengar di ruang publik, bukan dibungkam atau didorong keluar dari itu. Oleh karena itu diplomasi di tingkat internasional jangan keluar dari paradigma sekularitas,” kata Bielefeldt.
Mengacu pada hak asasi manusia, Bielefeldt mengatakan hak asasi manusia tidak sama dengan agama, dan jangan dicampuradukkan dengan agama. “Karena fungsi hak asasi manusia adalah memberikan hak yang sama bagi anggota dari semua agama dan keyakinan,” kata dia.
CCIA adalah badan penasehat yang berada di bawah struktur WCC. Badan yang dibentuk pada 1946 ini memiliki platform melakukan advokasi bersama dan berinisiatif menggelar dukungan untuk perdamaian, keadilan, dan pengentasan kemiskinan.
“Saat ini kita memperingati ulang tahun ke-70 CCIA peringatan itu penting untuk mengevaluasi kinerja, kontribusi dan keterlibatan dari WCC atau CCIA pada kebebasan beragama atau berkeyakinan melalui acara publik di PBB,” kata Eksekutif Program WCC, Semegnish Asfaw.
“Memiliki pemahaman keagamaan dan kebebasan beragama yang baik sangat mendukung diplomasi internasional, hal tersebut merupakan salah satu syarat penting untuk mendapat dunia yang semakin damai,” dia menambahkan.
Acara ini didahului dengan konsultasi yang melibatkan CCIA dan perwakilan diplomatik dari kementerian luar negeri, lembaga bantuan pembangunan, misi permanen di Jenewa, Badan PBB dan LSM, pada 22 September.
Mantan anggota CCIA, yang juga menjabat Uskup Anglikan Kolombo, Srilanka, Duleep De Chickera mencatat pertemuan itu kontribusi berharga dalam kemajuan memahami kebebasan beragama dalam diplomasi internasional.
“Pertemuan ini digelar dalam rangka menetapkan landasan kecerdasan beragama dan pemahaman kebebasan beragama di masa depan,” kata De Chickera.
WCC telah terlibat dalam mengemban dan membela kebebasan beragama dan berkeyakinan sejak akhir Perang Dunia II. Dalam peringatan ulang tahun ke-70, CCIA telah menyusun dokumen antologi komprehensif setebal 500 halaman tentang kebebasan beragama. (oikoumene.org)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...