WCC di Sidang HAM PBB: Hentikan Apartheid Air di Palestina!
SATUHARAPAN.COM – Keterjangkauan air dan sanitasi sebagai hak asasi manusia dibahas di acara sampingan pada Sidang ke-30 Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) di Kantor PBB di Jenewa, Swiss.
Perspektif berbasis agama disampaikan oleh Dinesh Suna, koordinator Jaringan Air Ekumenis (Ecumenical Water Network/EWN) dari Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC).
Acara itu diselenggarakan oleh Misi Tetap Brasil, Jerman, dan Spanyol, dengan partisipasi dari Pelapor Khusus PBB untuk HAM terhadap air minum dan sanitasi yang aman, Prof Léo Heller.
Laporan tematik pertama Pelapor Khusus untuk Dewan HAM adalah tentang keterjangkauan. Ini salah satu dari lima isi normatif dari hak manusia untuk air minum yang aman dan sanitasi. Lainnya adalah ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas. Selain Suna, panelis lainnya termasuk perwakilan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Human Rights Watch (HRW), organisasi masyarakat sipil menanggapi laporan Heller.
“Lebih sering terjadi adalah orang miskin membayar persentase yang lebih tinggi dari pendapatan mereka untuk mengakses air dan sanitasi daripada orang kaya,” kata Suna.
Dia berbicara tentang kunjungan EWN baru-baru ini ke Tepi Barat. Di Tepi Barat, ia mengatakan masyarakat membayar dua pertiga dari pendapatan mereka untuk air dan sanitasi dan banyak orang tidak memiliki akses ke sistem distribusi air publik. “Setelah kembali dari kunjungan kami, dalam pernyataan keras, EWN meminta gereja-gereja dan pemerintah untuk bekerja untuk mengakhiri 'apartheid air' di Palestina.”
Subsidi publik dan subsidi silang yang diusulkan oleh Heller dalam laporannya dapat dilaksanakan secara efektif, kata Suna. Mengutip pengalaman India, katanya, “Pemerintah di New Delhi saat ini telah menyatakan air untuk didistribusikan bebas biaya hingga 20.000 liter per rumah tangga, per bulan. Siapa pun yang mengonsumsi di atas batas itu baru membayar jumlah penuh tagihan pada kenaikan 10 persen. Model ini—bahkan jika ada celah kelemahan—telah bekerja dengan baik dan tidak menyingkirkan mereka yang tidak bisa membayar tagihan,” katanya
Komunitas Agama untuk Mengatasi Masalah Air
Suna menekankan bahwa komunitas agama dapat dan memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan hak manusia untuk air dan sanitasi. Para pemimpin agama harus didukung dalam pekerjaan itu, dia mendesak, karena mereka dapat memengaruhi konstituen besar.
Suna mengatakan bahwa air memiliki “makna spiritual yang kuat” di hampir semua agama. “Oleh karena itu, tidak sulit untuk berbicara tentang air kepada orang-orang beriman. Laudato Si’—ensiklik terbaru dari Paus Fransiskus pada ‘Merawat Rumah Kita Bersama’—adalah satu contoh,” katanya. “Paus tidak hanya berbicara tentang perubahan iklim, tetapi menegaskan hak asasi manusia terhadap air dan sanitasi.”
Suna juga berbagi contoh organisasi keagamaan yang mengatasi krisis air dan sanitasi global. Dia menceritakan betapa GIWA (Global Interfaith WASH Alliance), sebuah organisasi mitra EWN, terlibat dalam proyek ambisius USD 30 miliar (Rp 432 triliun) di India, “Kampanye Bersihkan India” yang berencana membangun 120 juta toilet pada 2019. Dia juga menyoroti Norwegian Church Aid, salah satu anggota pendiri EWN, yang mengumpulkan USD 36 juta (Rp 518 miliar) tahun lalu untuk menyediakan air bersih dan aman bagi satu juta orang di 10 negara.
Suna menegaskan kembali seruan EWN untuk gereja-gereja di Eropa dan Amerika Utara untuk menghilangkan penggunaan air kemasan. Dia mengatakan bahwa selain dampak lingkungan yang merugikan dari botol plastik, pemerintah menggunakan air kemasan itu sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab mereka untuk menyediakan air minum yang aman untuk masyarakat miskin melalui sistem distribusi air publik.
“Ketersediaan air minum kemasan memungkinkan para elite ekonomi untuk mengabaikan kegagalan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk air minum yang aman. Dengan demikian, industri air minum dalam kemasan merupakan hambatan dalam realisasi hak manusia untuk air,” kata Suna.
Heller menekankan “layanan air atau sanitasi tersedia, tetapi tidak terjangkau. Orang-orang yang tidak mampu menjangkau air yang cukup dan mengolah limbah, beralih ke air yang lebih murah, sumber yang tidak aman. Itu mengorbankan realisasi hak asasi manusia lainnya seperti makanan, perumahan, kesehatan, atau pendidikan.” (oikoumene.org)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...