WCC Diskusikan Radikalisme dalam Agama
BOSSEY, SATUHARAPAN.COM – Radikalisme dalam agama merupakan pokok penting dari sekian banyak diskusi politik di seluruh dunia, topik ini menjadi salah satu bahasan penting yang berperan dalam dialog antardenominasi Kristen dan antaragama.
Menurut oikoumene.org, pada hari Selasa (13/12) pembicaraan tentang agama seringkali bersifat memecah belah, karena biasanya terdapat kecenderungan untuk membicarakan stereotip agama tertentu yang dianggap sebagai penyebar ideologi ekstremisme.
Hal tersebut merupakan salah satu yang menjadi bahan pembicaraan di acara “Theological Education in the Context of religious Radicalisation” yang diselenggarakan World Council of Churches programme on Ecumenical Theological Education (ETE) atau Program pendidikan Teologi Dewan Gereja Dunia yang berlangsung antara 8-10 Desember, di Ecumenical Institute, Bossey, Swiss.
Para peserta konferensi tersebut antara lain, Sandra Mazzolini, perwakilan dari Pontifica Universitas Urbaniana, Roma, Italia, perwakilan Evangelical School of Theology, Wroclaw, Polandia, Wojciech Szczerba, perwakilan “World Communication Ministries”, Brussels, Belgium, Joseph Bosco Bangura.
Konsultasi tersebut merupakan acara yang terselenggara untuk kali kedua dan yang diselenggarakan Amele Ekue, dari ETE, konsultasi yang pertama diselenggarakan pada 2014. Diskusi yang pertama membahas tentang pendidikan teologi dan migrasi.
Dalam diskusi tersebut membahas tindakan yang seharusya dilakukan teolog yang berkecimpung dalam pendidikan teologi di dalam isu tersebut. Dalam pertemuan tersebut membahas tindakan yang seharusnya dilakukan teolog dalam melawan radikalisme agama.
Para pendidik teologis dapat membantu meningkatkan kesadaran semua umat beragama bahwa radikalisme terjadi dengan cepat.
Seorang teolog Prancis dari gereja Pantekosta yang berbasis di Swiss, Raymond Pfister mengatakan para peserta memberi kontribusi secara sistematis dan kontekstual tentang konsep tersebut tergabung di setiap profesi yang digeluti setiap hari.
Sejak awal pembicaraan, kata Pfister, para peserta menginginkan menemukan cara untuk mendefinisikan radikalisme dan memahami kerangka sosial dan politik terjadinya peristiwa tersebut.
Dia menyebutkan pentingnya memikirkan kembali peran hermeneutika (ilmu penafsiran makna kitab suci) alkitabiah sejarah.
Sementara itu menurut Henrik Sonne Petersen dari DanMission, pendidikan teologi memperhitungkan hubungan di dalam umat beragama dan antaragama dalam melihat radikalisme.
Dia mengajukan pertanyaan "apa sebenarnya pendidikan teologi yang efektif untuk memukul balik (counter) radikalisme, dan dapat menghindari klaim sepihak dari kelompok radikalisme,” kata dia.
Danmission, seperti tertuang dalam situs resminya danmission.dk, adalah organisasi berbasis Kristen yang secara independen terhubung dengan Gereja Lutheran Injili di Denmark, Folkekirken, organisasi ini bekerja sama dengan berbagai gereja, mitra strategis dan jaringan di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Denmark.
Prof. Paul Tshihamba Mpongo, rektor "University of Independent Churches in Congo", mengatakan sejumlah gereja di Kongo bekerja sama dengan sejumlah gereja di Afrika bagian Tengah, dan kerja sama telah berlangsung cukup lama.
Dia mencatat bahwa radikalisme agama membutuhkan perhatian dan sudut pandang umat Kristiani. Dia mengatakan: "Dengan menghindari radikalisme, kita ibaratnya sama dengan menjauhi perangkap fundamentalisme,” kata dia.
Para peserta sepakat bahwa tema konsultasi layak dieksplorasi lebih lanjut dan mendalam agar ditemukan cara mengidentifikasi radikalisme dalam sudut pandang pendidikan teologi. Mereka menganggap konsultasi awal tersebut bersifat konstruktif dan akan dilanjutkan di kesempatan berbeda. (oikoumene.org)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...