WCC Tandatangani Pesan kepada PBB tentang “Statelessness”
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC) bergabung dengan organisasi lain, menandatangani pernyataan yang disampaikan kepada Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Refugee Agency) pada tanggal 7 Oktober 2019. Pernyataan tersebut mendesak tindakan segera pada hilangnya kewarganegaraan akibat seseorang tak bernegara (statelessness).
Pernyataan itu menggarisbawahi, ancaman seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan bertumbuh dan risiko baru berkaitan dengan hal itu melampaui upaya untuk mengatasinya.
“Dalam sebagian besar kasus, persoalan tanpa kewarganegaraan bisa saja dihapuskan jika semua pemerintah sepenuhnya melaksanakan kewajiban mereka di bawah hukum internasional,” pernyataan itu menambahhkan.
“Namun, begitu hak mendapatkan kewarganegaraan ditolak, seseorang tanpa kewarganegaraan tadi akan menghadapi berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk hak atas pendidikan, perawatan kesehatan, pekerjaan, properti, hak atas warisan, pergerakan, partisipasi, kebebasan, dan keamanannya.”
Orang yang tidak memiliki kewarganegaraan juga menghadapi tingkat pemisahan keluarga yang tinggi, kekerasan berbasis gender, perdagangan manusia, dan kemiskinan multigenerasi, lanjut pernyataan itu.
Pernyataan tersebut mengingatkan, “Orang yang tidak memiliki kewarganegaraan juga rentan mengalami migrasi paksa, yang pada gilirannya merupakan penyebab dari keadaan tanpa kewarganegaraan - fakta yang diakui dalam Deklarasi Pengungsi dan Migran New York.”
“Mereka menghadapi penolakan dokumen yang mereka punyai, atau diminta membuktikan hubungan mereka dengan negara, meskipun telah tinggal sebagai warga negara selama beberapa generasi.”
Pernyataan tersebut mencontohkan apa yang terjadi di Assam, India, 1,9 juta orang secara efektif dicabut kewarganegaraannya karena dikeluarkan dari Daftar Warga Nasional.
Pengingat bagi Gereja-gereja
“Di dunia di mana kita sedang bersedih mengalami menjamurnya pemimpin negara yang menghasut lewat politik kebencian dan ketakutan melalui nasionalisme populis, maka semakin merendahkan hak asasi manusia dan manusia, memicu sentimen rasis dan xenofobik, yang semuanya mempengaruhi kelompok paling rentan - termasuk orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, pernyataan bersama ini merupakan pengingat bagi gereja-gereja kita dan teman-teman oikumenis, tentang perlunya mengambil sikap yang jelas dan kuat melawan kewarganegaraan,” kata Segma Asfaw, Eksekutif Program untuk Komisi WCC Gereja di Urusan Internasional.
“Statelessness adalah masalah titik-temu yang mencakup hak asasi manusia, keadilan gender, hak anak, migrasi dan hukum pengungsi, pengembangan, dan banyak lagi bidang lain, yang secara tradisional didukung teman-teman ekumenis kita,” Segma Asfaw menambahkan
Pdt Dr Cornelia Füllkrug-Weitzel, presiden Brot für die Welt, mengatakan, “Penolakan kebangsaan adalah pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia, yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Kami sangat khawatir tentang perkembangan terbaru di Assam, India, yang dapat mempengaruhi hak atas kewarganegaraan bagi hampir 2 juta orang, dan sebagai konsekuensinya dapat mempengaruhi semua hak asasi manusia lain, tidak hanya dari 2 juta orang ini tetapi generasi berikutnya atau bahkan generasi mereka berikutnya.”
Pernyataan itu juga mencatat, ada juga insiden yang semakin meningkat dari instrumentalisasi penarikan kebangsaan, untuk menargetkan lawan politik dan pembela hak asasi manusia yang melanggar hukum internasional.
“Konvensi Hak Anak melindungi hak setiap anak untuk memperoleh kewarganegaraan dan didaftarkan segera setelah lahir,” pernyataan itu melanjutkan. “Hukum internasional membuat ketentuan untuk memperoleh kewarganegaraan untuk anak-anak yang lahir tanpa kewarganegaraan di wilayah negara itu.”
Pernyataan tersebut juga menggarisbawahi, banyak orang tanpa kewarganegaraan tunduk pada penahanan sewenang-wenang, berkepanjangan, dan bahkan waktu tidak terbatas, dengan alasan penghapusan, sementara tidak ada negara yang mau menerimanya.
Berkaitan dengan hal itu, pernyataan tersebut mendesak, “Negara-negara pada akhirnya memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghilangkan tragedi buatan manusia ini, sekali dan untuk semua.” (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
OpenAI Luncurkan Model Terbaru o3
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Dalam rangkaian pengumuman 12 hari OpenAI, perusahaan teknologi kecerdasan...