WCC Ucapkan Selamat kepada Pemenang Nobel Perdamaian 2018
SATUHARAPAN.COM – Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC) menyambut baik pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 2018 kepada Nadia Murad dan kepada Dr Denis Mukwege, untuk pekerjaan mereka melawan “kekerasan seksual sebagai senjata perang dan konflik bersenjata”.
“Ini adalah inspirasi besar bagi semua yang bekerja melawan kekerasan seksual dan berbasis gender,” kata Sekretaris Jenderal WCC, Pdt Dr Olav Fykse Tveit, tak lama setelah penghargaan diumumkan, 5 Oktober 2018.
“Dr Mukwege secara konsisten dan dengan risiko besar, menunjukkan martabat manusia dan hak asasi manusia korban kekerasan dan perang, khususnya perempuan yang menjadi korban perkosaan dan kekerasan berbasis gender.”
Tveit mengatakan pekerjaan Mukwege di Republik Demokratik Kongo (DRC) adalah kontribusi nyata bagi perdamaian bagi mereka yang paling membutuhkannya - dan untuk pengembangan menuju keadilan dan perdamaian di negara dan kawasan.
Dr Mukwege, putra seorang pendeta, adalah seorang awam Kristen aktif yang mendirikan Rumah Sakit Panzi di Bukavu, Republik Demokratik Kongo, pada tahun 1999, untuk para korban kekerasan seksual, khususnya dalam konteks perang sipil yang berlangsung lama di negara tersebut.
Ia sekarang adalah salah satu ahli terkemuka di dunia pada perbaikan bedah cedera dari perkosaan dan kekerasan seksual, dan advokat internasional terkemuka terhadap perkosaan sebagai senjata perang, melawan impunitas bagi para pelaku kejahatan perang seperti itu, dan untuk hak-hak korban.
Wakil Sekretaris Jenderal WCC, Prof Dr Isabel Apawo Phiri, mencatat, “Untuk WCC, pengakuan itu menambah keyakinan mutlak kami, melalui aktivitas ‘Thursday in Black’ dan Konsultasi Global kami di Kingston, Jamaika, tentang komunitas yang adil dari wanita dan pria, menunjukkan solidaritas dan tindakan kami untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan di gereja dan masyarakat.”
Nadia Murad, Perempuan Yazidi
Nadia Murad adalah anggota komunitas Yazidi di Irak utara. Ia adalah salah satu dari sekitar 3.000 perempuan dan gadis Yazidi yang menjadi sasaran perkosaan dan perbudakan oleh mereka yang menyebut diri kelompok “Negara Islam” yang menduduki sebagian besar wilayah Irak utara pada pertengahan 2014.
Berhasil melarikan diri setelah tiga bulan disekap, Murad memilih untuk tidak tinggal diam. Ia memilih berbicara secara terbuka tentang pengalamannya.
“Penghargaan kepada dua tokoh terkemuka ini mendorong kami memberikan perhatian kepada persoalan perkosaan sebagai senjata perang,” kata Peter Prove, Direktur Komisi Gereja-Gereja Internasional WCC. Ia mengimbau masyarakat dunia untuk bekerja mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan perang terhadap kekerasan seksual, dan untuk meningkatkan dukungan bagi semua korban kejahatan semacam itu.
“Dan kami menyerukan kepada semua gereja dan orang-orang yang berkeinginan baik di seluruh dunia untuk menghadapi dan mengubah sikap dan konteks budaya di mana kekejaman semacam itu dapat terjadi,” kata Prove. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...