WHO: Sunat Perempun Akibatkan Kerugian Besar Ekonomi Negara
JENEWA, SATUHARAPAN.COM-Mutilasi alat kelamin perempuan (Female genital mutilation / FGM) yang juga secara umum disebut sunat perempuan dilporkan merugikan korban "melumpuhkan" secara ekonomi di banyak negara, kata lembaga PBB mengatakan pada hari Kamis (6/2). PBB meluncurkan instrumen untuk membantu mereka menghitung biaya merawat anak perempuan dan perempuan yang dirugikan oleh praktik tersebut.
Diperkirakan 200 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia telah menjalani FGM, yang menyebabkan sejumlah masalah kesehatan mental dan fisik termasuk pendarahan, infeksi kronis, kista dan komplikasi persalinan yang mengancam jiwa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghitung biayanya itu mencapai US$ 1,4 miliar per tahun untuk mengobati semua kebutuhan medis yang dihasilkan.
"FGM bukan hanya pelecehan besar terhadap hak asasi manusia yang secara signifikan membahayakan... jutaan anak perempuan dan perempuan, hal itu juga menguras sumber daya ekonomi penting suatu negara," kata Ian Askew, kepala kesehatan reproduksi dan seksual WHO.
FGM disebutkan sebagai ritual kuno yang kebanyakan dilakukan para perempuan pada usia bayi hingga 15 tahun dengan menghilangkan sebagian atau total dari genitalia eksternal perempuan. Dalam beberapa kasus, lubang vagina juga dijahit.
Instrumen untuk menghitung kerugian ekonomi yang baru, diluncurkan bertepatan dengan Hari Toleransi Nol Internasional untuk FGM. Dan ini terutama mengenai 27 negara yang sebagian besar di Afrika.
Biaya ekonomi yang dikeluarkan akibat FGM di Mesir disebutkan sekitar US $ 876,8 juta dan Sudan US $ 274, 7 juta. Di beberapa negara biayanya akan mencapai 30% dari pengeluaran kesehatan tahunan mereka. Angka itu menunjukkan bahwa ada manfaat ekonomi yang sangat jelas untuk mengakhiri FGM, kata WHO.
Dilaporkan bahwa gadis-gadis yang menjalani FGM sering dinikahkan dalam usia muda, sehingga membatasi pendidikan dan prospek mereka, kata direktur eksekutif Ann-Marie Wilson, dikutip Reutres. "Masalah ini mengakar dalam kemiskinan di masyarakat dan secara serius menghambat pembangunan ekonomi negara."
Ilmuwan WHO, Christina Pallitto, yang bekerja pada penyusunan instrumen itu, mengatakan bahwa dampak jangka panjang dari infeksi dan rasa sakit juga dapat memengaruhi kehadiran mereka di sekolah dan peluang kerja anak perempuan. "Semua ini secara radikal merusak kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk memenuhi potensi mereka," tambahnya.
Para pemimpin dunia telah berjanji untuk mengakhiri FGM pada tahun 2030, tetapi data badan PBB yang dipublikasikan pada hari Kamis itu menunjukkan angka di beberapa negara sama dengan kondisi 30 tahun yang lalu, termasuk di Somalia di mana praktiknya hampir sebagai hal umum.
WHO memperkirakan bahwa biaya kesehatan FGM akan melonjak hingga 50% pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan yang diambil, seiring dengan pertumbuhan populasi dan semakin banyak anak perempuan yang mengalami FGM.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...