Yaki, Terancam di Negeri Sendiri, Berkembang Biak di Inggris
SATUHARAPAN.COM – Sekujur tubuhnya berwarna hitam, dengan jambul di kepala, mengingatkan pada rambut kaum pencinta punk. Bokongnya yang berwarna merah muda hingga merah, sangat kontras dengan hitam warna tubuhnya. Moncongnya pun lebih menonjol dibandingkan primata lain.
Itulah penggambaran Christopel Paino dalam mongabay.co.id, tentang monyet hitam sulawesi yang memiliki nama ilmiah Macaca nigra.
Di dunia, mengutip dari britannica.com, ada 20 spesies dari genus Macaca. Paino menyebutkan 11 di antaranya ada di Pulau Sulawesi. Khusus Macaca nigra, hanya bisa dijumpai di Sulawesi Utara (Sulut).
Di Minahasa, Sulut, monyet ini disebut yaki, keberadaannya tersebar di hutan primer Cagar Alam Tangkoko, Bitung, dan hutan lindung di Sulut. Wikipedia menyebutkan populasi yaki tersebar di beberapa titik di hutan primer mulai Cagar Alam Tangkoko Batuangus bagian utara hingga ke Sungai Onggak Dumoga. Satwa ini juga tersebar di hutan lindung Sulawesi Utara, seperti Cagar Alam Dua Saudara, Pulau Bacan, Manembo Nembo, Kota Mubagu, dan Modayak.
Populasi yaki menurun dengan cepat. Ancaman terutama dari perburuan untuk dikonsumsi.
Satwa ini dilindungi berdasarkan UU RI No 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999.
Terancam kehidupannya di habitatnya, yaki berkembang biak dengan baik di negeri orang. Di antaranya, bayi yaki menjadi “anggota baru” sensus awal tahun 2017 di Zoological Society of London, Kebun Binatang ZSL London.
Berbagai media di Inggris meliput kelahiran bayi yaki itu pada Februari 2016. Bayi yaki berbobot 800 gram dengan panjang 20 cm itu lahir dari induk Winoo yang berusia 17 tahun dengan pejantan bernama Gaston. Selama enam bulan pertama menurut staf ZSL bayi yaki akan menyusu dan berada di bawah pengasuhan induknya sebelum mulai belajar berburu makanan sendiri.
Yaki, atau monyet wolai, disebut juga monyet hitam sulawesi karena merupakan satwa endemik Indonesia dan hanya terdapat di Pulau Sulawesi bagian utara dan beberapa pulau di sekitarnya. Yaki, dengan nama binomial Macaca nigra, Desmarest, 1822, menurut Wikipedia, merupakan jenis monyet makaka terbesar di Pulau Sulawesi. Dalam bahasa Inggris, satwa ini dinamakan celebes crested macaque, crested black macaque, atau black ape.
Ciri tubuhnya mudah dibedakan dengan spesies lainnya. Tingginya sekitar 44-60 centimeter, dengan berat badan sekitar 7-15 kilogram, cukup besar jika dibandingkan dengan monyet sulawesi lainnya.
Berbeda dengan kera jenis lain yang memiliki ekor panjang seperti kera ekor panjang Macaca fascicularis, 40 – 65 cm, yaki hanya memiliki ekor sepanjang 20 sentimeter.
Warna tubuh yaki betina dan muda lebih pucat jika dibandingkan dengan yaki jantan dewasa.
Pada lokakarya Sulawesi Crested Black Macaques di Manado, yang diselenggarakan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bekerja sama dengan Pasifik Institut dan Selamatkan Yaki, 16-18 April 2013, Antje Engelhardt, peneliti dari Proyek Monyet Hitam, menjelaskan, populasi yaki di habitat asli hanya tinggal 5.000 ekor, tersebar di Sulut. Dari jumlah itu, 2.000 terdapat di Cagar Alam Tangkoko. Yaki beranak sekali dalam setiap 1,5 tahun.
Ahli ekologi yang mendalami primatologi dan menghabiskan waktu 20 tahun menekuni primata itu, menjelaskan, habitat hidup yaki di hutan primer dan hutan sekunder. Namun, yaki lebih suka di hutan primer. Yaki memakan daun dan ular, tetapi sebagian besar makanan buah-buahan, erau, dan spesies tikus, “Dalam aktivitas harian, yaki menyukai hubungan sosial.”
Pada musim reproduksi, betina lebih sering hamil pada Juli-Desember, dan musim melahirkan paling tinggi Maret-April. Apabila hujan naik, lebih sering melahirkan. Jika hujan kurang, yaki jarang melahirkan, “Setelah diteliti karena banyak makanan di musim hujan.”
Populasi Terancam dan Upaya Penyelamatannya
Dalam kurun waktu 20 tahun populasi satwa ini turun 80 persen menurut Harry Hilser, saat itu Field Project Manager Program Selamatkan Yaki. Selamatkan Yaki merupakan program konservasi, edukasi, dan riset untuk melindungi monyet hitam sulawesi dan hutan habitat mereka.
Populasi turun drastis karena ulah manusia yang sering memakan yaki, selain yang menangkap untuk dipelihara, kata peneliti biologi yang mendalami ekologi, antropologi, dan primatologi itu, dalam lokakarya konservasi tentang Sulawesi Crested Black Macaques di Manado itu.
Harry Hilser mengatakan, menyelamatkan yaki dan habitatnya antara lain harus dilakukan dengan mengubah pola pikir dan pendidikan konservasi kepada anak-anak sekolah.
Pariwisata, menurut Antje Engehardt, terkadang bisa menjadi ancaman bagi yaki karena dari makanan yang dibawa atau ditinggalkan pengunjung, bisa mendatangkan bahaya kesehatan.
Salah satu upaya penyelamatan yaki yang unik dapat dibaca melalui laporan Yunita Siwi, Community Conservation Officer Selamatkan Yaki, dalam situs resmi Selamatkan Yaki. Lauren Amos dan Eva Hoad, dua gadis muda asal East Sussex, Inggris, yang bekerja sebagai penjaga kebun binatang Drussilas Inggris, pada 5 Agustus 2016 melakukan aksi yang sangat berani, bertajuk “Skydive for Yaki”.
Dengan keberanian dan hasrat untuk membantu pelestarian satwa khas Sulawesi Utara yaitu yaki, mereka mengumpulkan dana dengan mengadakan kegiatan ekstrem, skydive, atau berselancar di udara.
Berikut tulisan Lauren Amos, yang juga pernah menggalang dana untuk Selamatkan Yaki lewat lari maraton.
“Meningkatkan penyadartahuan dari langit merupakan pengalaman yang unik dan menjadi sebuah tantangan untuk saya dan Eva. Kami adalah pekerja yang sangat bersemangat di Drussilas Park, East Sussex, yang bekerja setiap hari dengan kelompok monyet hitam sulawesi kami yang cantik. Spesies ini berpotensi untuk menjadi kuat dan bertenaga, namun umumnya sangat lembut dan tentatif khususnya terhadap anak-anak mereka.”
“Mereka telah mengajarkan kami begitu banyak hal, dan sudah waktunya sekali lagi membalas budi. Sayangnya spesies asli Sulawesi Utara, Indonesia ini, dikategorikan sangat terancam punah. Oleh karena itu melestarikan spesies ini sangat penting, tidak hanya untuk orang yang bekerja dan mencintai mereka tapi untuk ekosistem. Tanpa yaki, banyak jenis flora dan fauna lainnya mungkin berjuang untuk bertahan hidup.”
“Rasa sayang dan ketertarikan kami dari spesies ini mendorong kami ingin melakukan apa pun yang kami bisa lakukan untuk membantu menyelamatkan yaki. Dan pada Jumat, 5 Agustus (2016) kami harus membawa ketakutan dan membawanya sampai ke langit untuk suatu pengalaman sekali seumur hidup, sehingga kemudian bersama-sama kita bisa menyelamatkan yaki.”
Di Indonesia, Program Selamatkan Yaki gencar melaksanakan kampanye kebanggaan yaki, di antaranya di Areal Tomohon Langowan (2013-2014) dan Bitung (2015-2016). Kegiatan seperti peningkatan kesadaran masyarakat lewat pendidikan serta peningkatan pengelolaan kawasan konservasi lewat Protected Area Management adalah kegiatan utamanya. Dukungan untuk program ini sangat diperlukan dari berbagai pihak baik di Indonesia maupun dari luar, tidak terkecuali para pekerja kebun binatang di Inggris yang mendukung kegiatan konservasi yaki secara ex-situ ( di luar habitat aslinya).
Editor : Sotyati
Berjaya di Kota Jakarta Pusat, Paduan Suara SDK 1 PENABUR Be...
Jakarta, Satuharapan.com, Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya Muhammad Mashabi Jakarta Pusat menjadi ...