Yang Otentik dan Superfisial tentang Gerakan Penista Agama
Rencana demo tanggal 2 Desember sudah menimbulkan kontroversi yang sangat luas. Sebagian alasannya karena tidak lagi jelas apa yang hendak dicapai lewat demo itu.
SATUHARAPAN.COM - Jumat terakhir sebelum 2 Desember 2016, saya mendapat sebuah khutbah yang menarik di mesjid Agung Al Munawarah Kota Jantho, Aceh Besar, yang menjadi inspirasi dan pemantik tulisan ini.
Sang khatib dengan suara tenang dan jelas mengulas kondisi umat saat ini yang mabuk aksi massa, menuntut dipenjarakannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai penista agama Islam. Menurut sang khatib, aksi-aksi massa berskala besar hanya untuk seorang Ahok berbaur negatif menjadi semangat menghina agama-agama lain di Indonesia yang kebetulan minoritas. “Padahal Islam adalah agama tinggi, sangat melarang menghina keyakinan dan agama lain. Kita seharusnya menghargai agama-agama yang hidup di Indonesia. Biarlah kasus penistaan agama itu diselesaikan pihak keamanan secara profesional tanpa harus dirongrong oleh aksi massa”, ujarnya.
Islam Otentik
Momen khutbah itu di luar perkiraan. Hal itu sekaligus membuka mata dan telinga bahwa kegaduhan dunia maya dan media sosial tidak semuanya berdampak di dunia nyata. Di dunia nyata, masih banyak alim-ulama yang tak terpengaruh dengan kegaduhan di media massa atau daring dan memperkeruh melalui wacana permusuhan yang berdampak negatif pada kerukunan umat beragama.
Sketsa itu juga menjadi sinyal bahwa Islam otentik masih bernyala di Nusantara. Masih ada semangat mencari akar-akar keaslian Islam, yaitu nilai-nilai perdamaian, keadilan, toleransi, kasih-sayang, dan kemanusiaan, yang saat ini terancam oleh “Islam marah” yang disebar secara anonim di media sosial seperti Whatsapp atau Facebook. Padahal banyak pesan itu menyalin kedangkalan atau superfisialitas yang tidak bernadi di sejarah dan prinsip utama Islam.
Salah satu superfisialitas itu adalah seruan Salat Jumat pada 2 Desember 2016 di jalan protokol Jakarta seperti disampaikan tokoh-tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). GNPF kali ini tidak lagi membawa embel-embel Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena pimpinan organisasi agamawan muslim bentukan negara itu tidak ingin diikutsertakan pada aksi kali ini.
Seruan itu langsung ditegah oleh ulama senior Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri melalui twitter-nya, bahwa “ibadah” seperti itu akan menjadi preseden bid’ah terbesar sejak zaman Rasulullah. Menurutnya tidak ada satu tetes sejarah dan teks agama Islam yang membenarkan seruan Salat Jumat di jalan atau ruang terbuka.
Sontak seruan Gus Mus itu melahirkan reaksi dan respons. Reaksi timbul karena pandangan Gus Mus dianggap bisa melemahkan semangat orang mengikuti “aksi massa 212”. Adapun respons lahir dari pemikir hukum Islam (faqih) atas keabsahan ijtihad “nyeleneh” itu, yang dimunculkan kelompok skripturalis-ortodoks pengusung aksi massa. NU yang terkenal kelompok konservatif-kultural-moderat saja sulit menerima “ijtihad” seperti itu.
Di sisi lain, pemaksaan “aksi 212” semakin agresif dan keluar dari koridor “menegakkan agama Islam”. Argumentasi agama tak tegak lagi mengalasi aksi ini. Jika terkait isu dugaan penistaan agama, proses kepolisian telah berjalan dan meningkat ke level penyidikan dengan tersangka Ahok.
Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, menganggap aksi 2 Desember 2016 berpotensi memecah-belah persatuan Indonesia. Ia akhirnya menggagas aksi “Nusantara Bersatu” pada 30 November 2016 untuk meredam “aksi 212” (Kompas.com, 24/11). Kapolri Tito Karnavian menyebutkan “aksi 212” telah mulai dibonceng ide makar sehingga harus dikawal secara tegas.
Toleran atau Fundamentalis?
Sebenarnya kasus ini menjadi ujian penting bagi bangsa ini, apakah umat Islam Indonesia tetap elegan dengan simbol Islam toleran ataukah telah mulai bergeser menjadi kaum fundamentalis yang reaktif.
Akar-akar toleransi dalam Islam bukanlah semata tafsiran periferal, tapi fakta empiris. Bahkan sejak era Nabi Muhammad SAW hal itu telah dipraktikkan. Salah satu yang paling terkenal adalah perjanjian kaum muslim baik dari Muhajirin (penduduk Mekkah) dan Anshar (penduduk Madinah) dengan kelompok Yahudi, yang terkenal dengan Perjanjian Madinah (al-Mu’ahadah al-Madinah).
Perjanjian itu menunjukkan toleransi muslim terhadap non-muslim untuk hidup berdampingan di “Negara Madinah”. Bahkan kaum Yahudi dari Bani Auf, yang lebih agresif dibandingkan umat Nasrani, diakui sebagai bagian penduduk Madinah yang mayoritas Islam. Mereka tidak pernah dipaksa pindah agama. Dipersilakan membangun kerjasama sosial-ekonomi dengan umat Yahudi, termasuk melindungi mereka dari kejahatan dan penistaan (Muhammad Syed Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, 1977).
Sejak itu muncul istilah konstitusional : status non-muslim yang memiliki hak sama sebagai warga(‘Aqd al-Dzimmah). Istilah al-Dzimmah juga menjadi teks Syar’i, seperti dalam hadist Nabi berbunyi: “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka saya adalah musuhnya. Dan barangsiapa yang memusuhi saya, saya akan memusuhinya di hari kiamat”. Dalam hadist lain disebutkan, “Barangsiapa membunuh seorang ahl al-dzimmah, maka diharamkan baginya wangi surga” (Budhy Munawar Rachman, 2010 : 147-8).
Salah satu dimensi penting peradaban toleransi Islam terdapat di era Khilafah ar-Rasyidah, terutama pada masa Omar bin Khattab. Omar menjadi sosok penting sejarah Islam. Nabi Muhammad pernah menganalogikannya sebagai “jubah dalam Islam”, sebuah metafora untuk menggambarkan keluasan ilmu dan kebijaksanaannya.
Di Era Ibn Khattab lah Islam mengalami perluasan teritorial hingga ke wilayah non-Jazirah Arab seperti Iskandariyah, Palestina, Irak, Mosul, Suriah, Mesir, dan Persia. Di wilayah-wilayah penaklukan itu, agama-agama yang telah lebih dahulu hadir masih tetap lestari. Suriah berbahasa Suryani masih banyak yang beragama Nasrani, Palestina yang berbahasa Ibrani beragama Yahudi, Kaum Yazidi berbahasa Asyiria tinggal di perbatasan Irak dan Suriah beragama Zoroaster dan Mithraisme, dan Mesir berbangsa Qitbi beragama Mesir kuno dan Kristen Koptik (Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 2007 : 24).
Kepada mereka Omar ibn Khattab memberlakukan hukum konstitusional sekuler yang membolehkan agama tetap terpelihara dan melarang perusakan situs-situs agama lama. Kini peradaban tua yang dilindungi sejak era Khilafah ar-Rasyidah itu sedang mengalami pemusnahan dan genosida oleh Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS); sebuah gerakan yang tak ada akar Islam otentiknya.
Dengan sejarah panjang, Islam pun masuk Nusantara melalui peran jaringan ulama yang kemudian hari di awal abad duapuluh membentuk organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah; dua ormas terbesar Islam yang menjadi pengawal lahirnya negara Indonesia dengan dasar Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kasus Ahok seperti membutakan sejarah panjang bangsa ini. Rasa toleransi yang tumbuh dalam semangat persaudaraan dan keberagaman, tiba-tiba hangus. Diam-diam sedang ada dorongan agar negara ini bercita rasa tunggal yang diklaim representasi Islam. Padahal gerakan itu profan semata, dengan bumbu penyedap masalah penistaan agama. Jangan main api, bahaya sektarianisme telah membuat negara-negara Timur-Tengah menjadi negara gagal bisa saja mengempas ombak ke negeri kita.
Tentu bangsa ini jauh lebih besar dari hanya isu penistaan agama Ahok. Ahok menjadi terpidana atau terpilih menjadi gubernur Jakarta tidak membuat umat Islam Indonesia semakin berkualitas atau buruk rupa. Sebaliknya, kegiatan merusak keberagaman dan nasionalisme (ukhuwah wathaniyah) tidak merepresentasikan nilai demokrasi dan otentik Islam, harus ditanggapi serius agar tidak memecah bangsa sehingga menyulut konflik massif-nasional.
Umat pun tidak perlu terkotak-kotak ke dalam wacana superfisial, seolah-olah ketika tidak mendukung demonstrasi tangkap Ahok bukan umat beriman; dengan pengetahuan atas semua desain aksi-aksi yang melibatkan modal dan kuasa politik yang hebat. Beberapa di antaranya beririsan dengan klik politik Pilkada Jakarta.
Keimanan dan keislaman bukan ditentukan dengan pro atau anti Ahok. Ingatlah pesan otentik Islam, melalui hadist Nabi Muhammad SAW, bahwa tugas profetiknya tak lain memperbaharui moral dan etika umat agar semakin paripurna, berjiwa besar, tawakkal, dan rendah hati (Innama bu'itstu liutammima makarimal (shalihal) akhlaq). Jadilah umat yang merangkul sesama dan semesta (Islam rahmatan lil alamin), bukan menyulut ego chauvinisme-tribalistik sehingga terjerumus menjadi penghina dan agitator.
Allahuakbar! Hanya Tuhan lah yang paling besar, dan bisa membungkam ego-ego kita.
Penulis adalah Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh.
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...