Yenny Wahid: Interaksi di Medsos Jangan Diisi Pesan Intoleran
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Yenny Wahid, Direktur The Wahid Institute, berpesan kepada generasi muda yang berinteraksi di media sosial (medsos) jangan sampai diisi pesan-pesan intoleran dari orang-orang yang anti terhadap keberagaman, tradisi, budaya, nasionalisme, dan peradaban.
“Kalau kita diam dan membiarkan, dunia ini makin lama semakin tidak menyenangkan untuk ditempati karena agama Islam sebagai sebuah keyakinan cenderung dicitrakan dengan kesan, suka perang, angkat senjata, bom, dan tindakan-tindakan anarkis lain. Sudah saatnya media didominasi dengan pesan cinta bukan pesan kebencian,” kata Yenny saat memberi kata sambutan di workshop Tweet For Peace bertajuk ‘Empowering Our Youth To Stand For Peace’, di Hotel Harris Tebet, Jakarta Selatan, hari Rabu (10/2).
Kegiatan yang melibatkan puluhan aktivis media ini dilaksanakan The Wahid Institute bekerja sama dengan Twitter Indonesia, The Wahid Institute–seperti diberitakan NU Online–menggelar workshop dengan tujuan mengampanyekan informasi dan pesan damai di media sosial khususnya Twitter.
Yenny menjelaskan workshop diselenggarakan karena berbagai paham radikal begitu masif menggunakan fasilitas media sosial untuk menyebarkan kebencian, intoleransi, dan radikalisme. “Radikalisme di media sosial semakin hari semakin menguat,” kata Yenni.
Yenny melihat berbagai kelompok radikal yang memanfaatkan media sosial untuk tujuan mereka. Sebab itu, menurut Yenny, saat ini senjata kaum radikal bukan hanya pistol, dan senjata berat lain, tetapi juga perangkat-perangkat yang ada di media sosial.
“Saat ini, bahkan narsisisme dan selfie (swafoto, red) justru digunakan sebagai senjata oleh mereka untuk menyebarkan aksi radikalisme dan terorisme,” kata dia.
Yenny melanjutkan bahwa akar terorisme tumbuh berawal dari gerakan intoleransi agama yang berkembang menjadi sikap radikal kemudian bertransformasi menjadi tindakan terorisme. Gerakan radikal, lanjutnya, selama ini masif menyasar para perempuan-perempuan hijabi.
“Karena para perempuan ini lebih berkesan kepada para pejuang yang disebutnya sebagai ‘Singa Allah’ yang akhirnya membuat mereka juga banyak yang terjurumus ke aksi yang cenderung ke terorisme,” papar Yenny.
Dalam kesempatan yang sama Sofyan Tsauri, mantan narapidana terorisme yang hadir sebagai narasumber menegaskan bahwa gerakan radikal dan teror adalah bahaya laten di tengah masyarakat.
“Mayoritas teroris beranggapan bahwa tindakan teror yang dilakukannya sebagai sebuah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,” kata Sofyan.
Sofyan yang pernah divonis selama 10 tahun penjara dalam kasus terorisme tersebut menjelaskan bahwa selama ini untuk menyebarkan paham-paham radikal, dia mencontohkan organisasi ekstrem radikal ISIS (Islamic State Iraq and Syria) memanfaatkan media sosial seperti twitter.
Senada dengan itu, teman Sofyan Tsauri yang dulu aktif dalam gerakan teror, Yudhi menjelaskan bahwa pemahaman banyak aktivis radikal dan teror banyak didapat dari situs salah satu imam mereka seperti Aman Abdurrahman yang saat ini sedang menjalani vonis di Nusakambangan.
“Aman Abdurrahman masih bisa mengendalikan gerakan teroris di dalam penjara,” kata Yudhi. (nu.or.id).
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...