Yogya Annual Art #3: Positioning
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Apa jadinya jika tiga puluh satu seniman-perupa yang telah memberikan warna bagi perjalanan seni rupa Indonesia mempresentasikan karyanya bersama di sebuah ruang pamer? Yogya Annual Art (YAA) #3 yang mengambil tajuk "Positioning" bisa sedikit memberikan jawaban.
Meskipun setiap karya yang dipamerkan bukanlah representasi keseluruhan dari masing-masing seniman-perupa, ataupun dipersiapkan untuk tema pameran yang sedang berlangsung, dengan perjalanan proses kreatif yang dilalui melihat sepintas pun bagi penikmat seni rupa akan dengan mudah mengenali karya seni yang sedang disajikan.
Positioning, pada titik ini seniman-perupa yang telah establish dalam berproses karya secara langsung ataupun tidak langsung dalam banyak hal telah memiliki tempat dalam kamar kreatifnya masing-masing tanpa terganggu oleh keberadaan (karya-seniman) lainnya.
Lantas dimana hendak diletakkan tema YAA #3 "Positioning" itu sendiri? Tentu bukan perkara mudah melakukan pembacaan hal tersebut. Setidaknya dalam ruang pamer bersama, masing-masing karya tidak sedang melakukan positioning sendiri-sendiri. Jika hal itu (positioning sendiri-sendiri) yang terjadi, justru positioning hanya akan mengerucut pada perebutan ruang-ruang kosong seni rupa. Presentasi karya hanya sebatas memindahkan karya ke ruang pamer.
Bisa dibayangkan, karya lukisan berjudul "Kedok" yang dibuat oleh Hari Budiono yang menghadang pandangan pengunjung saat pertama kali memasuki ruangan Sangkring art space apakah menjadi representasi positioning yang sedang ditawarkan? Tentu akan muncul interpretasi maupun persepsi yang beragam terlebih ketika pameran karya tidak semata-mata hanya dicantolkan pada tema yang diangkat.
Bisa jadi cara terbaik memahami tema "Positioning" yang ditawarkan pada YAA kali ini adalah mengalami langsung tanpa harus terprovokasi seniman siapa sedang mempresentasikan karya apa. Rentang waktu pameran yang cukup panjang memberikan keleluasan bagi kolektor, penikmat seni, art dealer, maupun masyarakat luas tidak sekedar mengapresiasi karya namun juga membuat bingkai sendiri tentang positioning yang sedang ditawarkan. Hanya yang menjadi kendala adalah saat sebuah karya telah berpindah tangan apakah hal tersebut masih bisa memberikan gambaran yang utuh tentang tema itu sendiri bagi mereka yang tidak sempat menyaksikan karya tersebut? Sebagai catatan, karya lukisan seniman-perupa senior Djoko Pekik maupun beberapa karya lain telah bertanda bulatan merah sesaat setelah pameran dibuka Minggu (6/5) malam.
Jika pembacaan positioning adalah tentang pasar, bulatan merah pada caption karya saat pembukaan adalah jawaban sederhananya serta sah adanya. Bagaimanapun perjalanan dan perkembangan seni rupa maupun kekaryaannya seturut dengan pasar yang tercipta. Dengan memberikan rentang waktu yang cukup lama hingga bulan September, pameran YAA #3 di Sangkring art space menjadi pameran terlama memajang karya.
Manajemen Sangkring mulai menjadikan Sangkring art space untuk pameran dalam rentang cukup lama (sekitar 5 bulan) pada tahun 2015, setahun sebelum YAA dihelat dengan mengangkat tema "Reborn". Pada tahun 2016 untuk pertama kali digelar YAA #1 dengan tema "Niat" dilanjutkan YAA #2 tahun 2017 mengangkat tajuk "Bergerak". Pameran YAA #3 "Positioning" sendiri ditutup Jumat (31/5) malam.
Dengan begitu masyarakat memiliki kesempatan yang cukup lama untuk bercengkerama dengan karya seniman-perupa, di sisi lain dengan waktu yang cukup lama terdisplay ada peluang yang cukup besar juga karya berpindah tangan. Sangkring art space memulai babak baru menjadi art fair dalam arti sesungguhnya dimana perhelatan sebuah pameran yang ada selama ini rata-rata paling lama satu bulan. Sebuah langkah positioning telah dilakukan Sangkring art space menjawab kebutuhan "ruang" pasar seni rupa dalam arti sesungguhnya. Dinding ruang pamer yang kosong karena karya telah berpindah tangan bisa diganti dengan karya yang lain oleh seniman-perupa yang sama atau berbeda sama sekali. "Positioning" telah mewujud dalam sebuah kondisi dan bukan semata-mata tema sebuah pameran.
Pergantian karya dan seniman-perupa dalam pameran "Positioning" juga membuka wacana baru proses kuratorial yang sifatnya dinamis sepanjang pameran berlangsung. Jika selama ini kuratorial karya dilakukan saat persiapan sebelum pembukaan, dengan kondisi yang ada kuratorial bahkan bisa dilakukan hingga menjelang penutupan pameran. Dengan mengalami langsung, tentunya pihak Sangkring memiliki peluang menjadikan opini penikmat seni selama pameran berlangsung sebagai bagian dari kuratorial itu sendiri. Sebuah aktivitas yang belum pernah dilakukan pada pameran-pameran sebelumnya.
Dengan posisi demikian apakah akan merugikan bagi Sangkring art space manakala terkesan menjadikan dirinya sebagai art dealer yang pragmatis? Tentu pembacaannya bisa beragam. Jika dianggap itu sebagai sebuah pragmatisme, mendekatkan karya seni pada masyarakat dalam rentang waktu yang cukup lama sesungguhnya adalah sebuah edukasi yang tidak mengenal lelah: perlu energi yang lebih, perlu pemikiran yang lebih, perlu waktu yang lebih. Kesempatan perjumpaan tersebut justru memposisikan pasar sebagai bonus atas proses edukasi dengan adanya ruang presentasi-apresiasi karya seni.
Apapun pembacaannya, menyaksikan karya seni dari seniman-perupa yang sudah establish dalam rentang waktu yang lama adalah sebuah kemewahan. Boleh setuju boleh tidak: dalam perhelatan secara berkelanjutan, "Positioning" dalam YAA #3 adalah upaya membangun pasar seni rupa (art fair) menjadi lebih natural. Kita tunggu saja kelanjutannya.
"Positioning" di Sangkring art space Jalan Nitiprayan No. 88, Ngestiharjo-Bantul yang menjadi bagian Yogya Annual Art #3 dibuka pada Minggu (6/5) malam akan berlangsung hingga 30 September 2018.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...