Yogyakarta Annual Art (YAA) #4: “Incumbent”.
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Yogyakarta Annual Art (YAA) tahun ini memasuki penyelenggaraan yang keempat. Lima ruang yang berada di galeri Sangkring mempresentasikan karya 93 seniman-perupa dalam tema yang berbeda.
Setelah pada edisi pertama tahun 2016 diawali dengan "Niat", pada penyelenggaran tahun kedua mengangkat tema "Bergerak" yang dipilih sebagai langkah dari sebuah progres, dilanjutkan tema “Positioning”, penyelenggaraan YAA #4 mengangkat tajuk “Incumbent”.
YAA #4 dibuka oleh guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Eddy OS Hiariej, pada Rabu (24/7) sore di pelataran Sangkring Art Space, Jalan Nitiprayan No 88, Ngestiharjo-Bantul.
Dalam sambutannya Eddy OS Hiariej menerangkan bagaimana posisi seni dengan dunia hukum yang digelutinya lahir dari rahim yang sama. Ilmu pengetahuan yang terus berkembang tidak bisa terlepas dari filsafat ontologi (keberadaan), epistimologi (asal-usul pengetahuan), aksiologi (tentang seni) yang terbagi menjadi dua derivat: estetika (keindahan) dan etika (tata laku). Filsafat etika melahirkan hukum, sementara filsafat estetika melahirkan bermacam-macam seni.
“Yang sedikit berbeda adalah profesi seniman-perupa bekerja dengan tangan dan akal sehat, sementara profesi hukum lebih banyak bekerja dengan menggunakan mulutnya,” kata Eddy OS Hiariej memberikan analogi profesi yang digelutinya saat membuka YAA #4, Rabu (24/7).
Eddy OS Hiariej sekaligus membuka pameran YAA #4 untuk keseluruhan ruang di galeri seni Sangkring. Kelima ruang tersebut adalah Lorong Sangkring, Wall Sangkring, Sangkring Art Space, Sangkring Art Project, dan Bale Banjar Sangkring.
Pada kelima ruang tersebut dalam tema besar “Incumbent” dihelat pameran dalam tema kecil serta keterlibatan seniman-perupa dalam penyajian karya yang berbeda.
Sangkring Art Project: Jauh Dekat Petahana
Tujuh belas seniman-perupa muda memanfaatkan ruang Sangkring Art Project untuk mempresentasikan karya-karyanya. Dengan pembatasan usia maksimal 35 tahun energi yang melimpah tergambar dalam karya yang mereka sajikan: eksploratif, inovatif, eksperimental. Seniman-perupa muda terlibat dipilih melalui seleksi yang cukup ketat oleh tim kurator Sangkring Art Space.
Ketujuh belas seniman-perupa muda tersebut adalah Albertho Wanma, Amin Taasha, Anis Kurniasih, Bambang Nurdiansyah, Chrisna Fernand, Dini Nur Aghnia, Hanggita Dewi, Hestrini Ayu Putri W, I Kadek Didin Junaedi, I Made Dabi Arsana, I Putu Adi Suanjaya, I Wayan Sudarsana, Jessica Justine, Melta Desyka, Ni Luh Pande Sandat Wangi, Rangga Anugrah Putra, Teguh Sariyanto.
Sebagian dari mereka baru saja menyelesaikan studinya dan mempresentasikan karya tugas akhirnya. Ruang presentasi-apresiasi yang disediakan bagi seniman-perupa muda cukup penting bagi perjalanan berkeseniannya. Ini menjadi poin penting bagi penyelenggaraan YAA, dimana seniman-perupa muda dalam proses mencari jati dirinya selepas atau minimal saat mereka hendak menyelesaikan studi.
Meskipun masih berada pada fase eksploratif-eksperimentatif dalam pencarian jati diri, beberapa seniman-perupa muda telah berani memunculkan warna dirinya. Salah satunya I Kadek Didin Junaedi yang terus berinovasi dalam karya tiga matranya dengan mengeksplorasi kebentukan, medium, komposisi untuk menerjemahkan ide karyanya. Jika pada karya-karya sebelumnya Didin banyak memainkan bentuk dan warna pada karya terdahulu seperti Kekang, Follow, pada karya Distortion Didin seolah mengajak penikmat karya dalam realitas beragam distorsi yang dihadapinya.
Dua karya yang cukup kuat disajikan Albertho Wanma dalam karya berjudul Moon dan Fafisu Sasor, dua buah patung surealis yang memiliki daya “ganggu” bagi pengunjung untuk mendekat dan memperhatikan detail karya tersebut.
Dalam karya series berjudul Seri Hutan Kesunyian dengan 17 karya drawing Bambang Nurdiansyah mendialogkan jutaan kesunyian. Hutan sebagai maha taman tempat jutaan kehidupan, bio-diversity, maupun sumber plasma nutfah bersemayam di dalamnya justru menjadi metafora kesunyian bagi Bambang Nurdiansyah.
Pameran perupa muda berlangsung di Sangkring Art Project hingga 10 Agustus 2019.
Bale Banjar Sangkring: Incumbent
Jika ruang Sangkring Art Project menjadi ruang persemaian perupa muda dalam YAA #4, Bale Banjar Sangkring menjadi ruang dialog lintas generasi seniman-perupa. Ruang ini menjadi tidak kalah menariknya manakala menjadi ruang belajar bersama di antara seniman-perupa muda dengan seniman pada generasi di atasnya.
Secara kekaryaan, seniman-perupa terlibat relatif sudah memiliki penanda khas baik dalam citraan visual maupun ide dalam karyanya. Apakah seniman sedang membaca realitas ataukah sedang menyajikan nuansa-suasana, bagi penikmat seni akan mudah mengenali karya siapa yang sedang dihadapinya.
Lebih dari 30 seniman-perupa mempresentasikan keseluruhan karya dalam dua matra. Seniman perupa tersebut adalah Agus Putu Suyadnya, Ampun Sutrisno, Anton Subiyanto, Beatrix Hendriani Kaswara, Choerudin Roadyn, Dewa Mustika, Dicky “Leos” Firmansyah, Erianto, Franziska Fennet. Hayattudin, Hedi Soetadja, I Dewa Ngakan Made Ardana, I Gusti Ngurah Undiantara (Tantin), I Nyoman “Ateng” Adiana, I Wayan Agus Novianto, I Wayan Suja, Indra Dodi, Ismanto Wahyudi, Iwan Yusuf, Januri, Kemal Ezedine, Kuat Kuart, Laksmi Shitaresmi, Maslihar Panjul, Ngakan Putu Agus Artha Wijaya (NPAAW), Petek Sutrisno, Putu “Bonuz” Sudiana, Putu Sastra Wibawa, Rismanto, Seno Andrianto, Suharmanto, Wahyu “Adin” Wiedyardini, Yaksa Agus, Yoyok Anggiring Sahaja.
Jika pada YAA sebelumnya, dinding utama Bale Banjar Sangkring yang kerap disebut sebagai holy wall dipajang karya seniman senior sebagai penghargaan atas kontribusi yang diberikan bagi perkembangan seni rupa, pada YAA #4 holy wall tidak dipajang karya. Dua tahun berturut-turut holy wall digunakan untuk memajang karya pengajar Seni Rupa ISI Yogyakarta yang sudah purna tugas, Subroto SM, dan tahun lalu memajang karya mendiang Nyoman Gunarsa.
Selain seniman-perupa yang sudah established, beberapa seniman-perupa terlibat dalam pameran di Bale Banjar Sangkring tahun lalu masih mengikuti pameran perupa muda di Sangkring dengan tawaran yang cukup menarik. Salah satunya Ngakan Putu Agus Artha Wijaya (NPAAW). Dengan ciri khas drawing-painting tradisional maupun surealis di atas kanvas utuh yang kebanyakan mengambil objek binatang, pada beberapa eksperimen terakhir NPAAW melubangi kanvas karyanya yang berjudul “0 Km”.
“Saya mencoba mengekspose ruang ilusi, artificial space dan ruang nyata yang termuat dalam sebuah karya yang utuh. Ruang ilusi tersebut terbentuk dari perpaduan dan ruang imajiner yang termuat dalam perspektif, sementara ruang nyata tercipta dari kanvas yang dibuatkan pola lingkaran dan berlubang kemudian di-display sedikit berjarak dengan background pigura,” jelas NPAAW kepada satuharapan.com, Kamis (1/8).
Pada karya “0 Km” NPAAW meninggalkan jejak goresan pensil dalam bentuk figur hewan-hewan dengan panjang badan yang tidak semestinya. Figur-figur hewan tersebut menjadi penanda khas karya NPAAW dalam berproses karya selama ini.
Seniman-perupa Rismanto yang identik dengan karya lukisan alat berat dalam ukuran besar, pada karya berjudul Ikan dan Bintang membuat lukisan dengan objek ratusan jenis ikan laut. Rismanto dikenal sebagai perupa yang gemar memancing di laut lepas. Dalam karya Ikan dan Bintang Rismanto menambahkan objek kapal penangkap ikan yang sedang berlayar mengarungi kedalaman lautan. Sebuah metafora yang menarik.
"Dimana kita tanpa sadar menjadi bebek-bebek yang digiring sontoloyo...
jika pernah dengar kata sontoloyo itulah bermakna tukang angon bebek." Kalimat satire tersebut dituis Yaksa Agus melengkapi lukisan dengan objek bebek dalam jumlah ratusan yang sedang di-angon oleh para sontoloyo dengan senyum-seringai menghiasi bibirnya. Kata sontoloyo yang bermakna tukang gembala bebek, hari ini mengalami peyorasi menjadi umpatan untuk seseorang yang sikapnya seenaknya sendiri kepada pihak lain.
Dalam karya berjudul Sontoloyo 2019 Yaksa bermain-main dengan pembacaan dinamika sosial-politik Indonesia hari ini terlebih pada saat pileg-pilpres yang baru saja berlalu telah menguras energi anak bangsa, saat elite politik berperilaku seenaknya sendiri mengombang-ambingkan masyarakat akar rumput demi ambisi kekuasaan yang dikejarnya.
Karya Sontoloyo 2019 melengkapi karya-karya Yaksa dengan tema senada Selamat Pagi Yogyakarta dan Selamat Pagi Jakarta, yang memotret dinamika sosial politik Indonesia pada tahun 1998. Kedua karya Yaksa pernah dipamerkan pada bulan Juni lalu di Bale Banjar Sangkring.
Pameran YAA #4 di Bale Banjar Sangkring berlangsungt hingga 18 Agustus 2019.
Outdoor Sangkring: Lolipop
Seperti penyelenggaraan YAA sebelumnya, luar ruangan (outdoor) galeri seni Sangkring digunakan untuk presentasi karya. Dua ruang yakni Lorong Sangkring dan Wall Sangkring menyajikan presentasi yang berbeda.
Pada Wall Sangkring, kelompok Semut merespons dinding luar Sangkring Art Project dengan karya instalasi berjudul Lolipop. Kelompok Semut yang beranggotakan Dedy Maryadi, Khusna Hardiyanto, Nyoman Agus Wijaya, Ostheo Andre, Rizal Kethis, Yusup Dilogo.
Dengan sebuah patung sosok kolektor karya seni Oei Hong Djien yang dikerubuti semut, Kelompok Semut menempatkan patung sosok OHD sebagai pusat perhatian (point of interest). Kehadiran OHD dalam perjalanan seni rupa Indonesia memberikan warna yang beragam tidak sekadar kolektor namun juga tempat seniman-perupa belajar dan berbagi pengalaman. Dalam kiprahnya OHD tercatat sebagai orang yang paling banyak membuka pameran seni rupa di Indonesia sebagai bentuk penghargaan atas kiprahnya bagi dunia seni rupa Indonesia.
Pada Lorong Sangkring, tiga belas seniman-perupa muda merespons lorong Sangkring dengan masing-masing seniman memajang tiga karya.
Sangkring Art Space: Incubare
Dua lantai Sangkring Art Space menjadi ruang 23 seniman-perupa senior memamerkan karya dua-tiga matra. Dari kelima ruang, Sangkring Art Space seolah menjadi ruang khusus bagi seniman-perupa yang telah banyak berkiprah dan memberikan kontribusi kekaryaan bagi seni rupa Indonesia. Tidak berlebihan, Sangkring Art Space menjadi ruang pamer yang prestisius bagi seniman-perupa memamerkan karyanya.
Melihat nama ke-23 seniman-perupa yang berpameran di Sangkring Art Space sebutlah Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Joni Ramlan, Jumaldi Alfi, Nasirun, F. Sigit Santosa, Yuswantoro Adi, atau pelukis senior Djoko Pekik, penikmat seni bisa dengan mudah membaca rekam jejaknya.
Selain pasar yang mengamini karya mereka, kiprah seniman-perupa tersebut memberikan pengaruh bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Mendiang I Made Sukadana dan I Nyoman Sukari, misalnya, yang membawa gaya lukisan ekpsresionis di saat seni rupa Indonesia sedang gandrung pada realis-surealis, telah memberikan pengaruh kebaruan karya ekspresionis-kontemporer salah satunya dengan sapuan kuas (brush stroke) yang kuat.
Bersama karya 23 seniman-perupa Kexin Zhang mempresentasikan special project-nya di lantai dasar Sangkring Art Space. Pameran berlangsung hingga 23 Agustus 2019.
Dalam catatan kuratorial, Kris Budiman menuliskan “... perbincangan tentang incumbent sebagai wacana publik belum lama ini menempuh dua rute utama. Pertama, berangkat dari konsep dan teori politik elektoral, entah dalam sistem pemerintahan demokratis ataupun autoritarian, sejumlah faktor lantas dipakai sebagai pijakan untuk memprediksi besar-kecilnya peluang bagi seorang incumbent di hadapan sang penantang. Rute kedua bermula sejak Salomo Simanungkalit menggali kosakata lawas dari dalam kamus dan menemukan lagi petahana sebagai padanan bagi incumbent.
Untuk menghindar dari dua rute di atas, kita akan coba merambah sebuah rute lain. Rute ini akan menempuh nalar peleonimik (paleonymics), yakni dengan menyusuri landasan pemahaman laten tentang incumbent dan tahana. Landasan ini berjejak mendalam pada pemahaman manusia atas tubuh yang berbaring atau berselonjor. Ini diperoleh jika arahnya adalah incumbere dan incubare (Latin). Selanjutnya, jika diarahkan kepada tahana, bertahana, akan sampailah kita pada landasan pemahaman atas pose tubuh juga, yakni duduk dan bersemayam.
Pada konteks politik, bertahana adalah (masih) menduduki jabatan, sebuah posisi. Dengan kata lain, baik incumbent maupun tahana tidak bisa membawa kita ke arah gerakan yang dinamis. Keadaan ini jelas-jelas berseberangan dengan niat untuk bergerak – sebuah semangat yang dicanangkan sejak awal dan masih dapat kita temukan hampir pada setiap karya yang dipamerkan, termasuk yang sekali ini.”
Catatan Kris Budiman menjadi menarik ketika dikaitkan dengan tema-tema YAA sebelumnya yakni “Niat”, “Bergerak”, “Positioning”, apakah YAA #4 berada dalam zona nyaman sebagai inkamben/tahana/petahana/incumbent sehingga menjadi ‘enggan’ menuju ke arah gerakan yang lebih dinamis? Tidak usah menunggu perubahan tersebut pada YAA #5 tahun depan. Cara terbaik membacanya: nikmati saja YAA #4 yang sedang tersaji saat ini.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...