Yogyakarta Gamelan Festival 2015 Digelar
ketika gamelan menjadi milik semua orang.
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Yogyakarta Gamelan Festival 20 (YGF 20) tahun 2015 ini memasuki tahun penyelenggaraan yang ke-20. Dengan mengangkat tema Gamelanggeng, YGF 20 dijadwalkan berlangsung dari hari Sabtu (15/8) hingga Senin 17 Agustus 2015 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dan telah dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY Drs. Umar Priyono., M.Pd.
Tema YGF 20 ini diilhami oleh semangat gamelan, keabadian, dan kemerdekaan, sehingga setiap unsur masyarakat bisa merasa memiliki dan memaknai gamelan dengan perspektif masing-masing. Gamelanggeng mengandung harapan dan ajakan kepada setiap warga masyarakat untuk terlibat dalam menjaga dan mencintai gamelan dalam sudut pandang dan caranya sendiri.
YGF ke-20 akan mementaskan sebelas peserta yaitu Gamelan Panti Asuhan Bina Siwi (Bantul), Bhagaskara (Yogyakarta), Anon & Omah Gamelan (Yogyakarta), Gamelan mBen Surup (Yogyakarta), serta peserta dari luar Yogyakarta: Rasamaya (Solo), Gayatri (Klaten), Ensemble Kyai Fatahillah & Jaka Sebar ISBI (Bandung), Caraka Budaya (Madiun), Ron Reeves & friends (Australia) serta Asep Nata & teman-teman.
Pada pembukaan Sabtu (15/8), YGF 20 menampilkan empat peserta, penampilan pertama oleh Caraka Budaya dari Kabupaten Madiun pimpinan Ismono. Caraka Budaya mengawali pementasan dengan membawakan dua komposisi yakni Kidung Adi Bratasiwi dan Siswa Tama. Permainan gamelan Caraka Budaya menjadi unik karena ditambah eksperimentasi saxophone dengan ditimpali improvisasi vokal dalam warna nada blues.
Penampilan berikutnya dari Gamelan Panti Asuhan Bina Siwi, Bantul yang memainkan empat komposisi garapan Sariyanto yakni Mars Bina Siwi, Lancaran Blindri, Lancaran Manyar Sewu, dan Sluku-sluku bathok.
Rasamaya dari Solo memainkan komposisi Kidung Rindu, Cakrawala 2, dan Amemuji. Petikan siter dan tabuhan modifikasi klenthing ditimpa suara gambang, gitar akustik, dan bass gitar menguatkan nuansa langgam yang dibawakan Rasamaya. Komposisi Cakrawala 2 sarat dengan pesan moral yang ingin disampaikan tentang perlunya menjaga kekayaan alam, adat-istiadat, keragaman budaya, dalam harmoni sebuah bangsa.
Peserta keempat Anon & Omah Gamelan dari Yogyakarta pimpinan Anon Suneko memainkan dua komposisi See eye to see dan Gendhingku. Anon & Omah Gamelan yang pemainnya didominasi anak-remaja mempersembahkan komposisi yang rancak dan semakin menarik ketika ditambahkan permainan perkusi rebana yang sepintas seperti gamelan-chadroh.
Terapi dan edukasi
Perform Gamelan Panti Asuhan Bina Siwi dari Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul yang sederhana tetapi mampu mencuri perhatian penonton. Permainan mereka menjadi tidak sederhana ketika komposisi yang disajikan dimainkan oleh gabungan anak-remaja dan orang tua, di mana sebagian pemain adalah penyandang difabel (tuna rungu, tuna netra) dan down syndrome. Keterbatasan fisik tidak menyurutkan semangat mereka untuk menampilkan kemampuan terbaiknya.
Sariyanto selaku pembina dalam wawancara di panggung menjelaskan bagaimana proses produksi yang bisa dikatakan singkat serta sebagian besar belum pernah memainkan gamelan. Latihan dimulai pada H-4 sebelum lebaran sebanyak 10 kali latihan. Kiat sederhana Sariyanto dalam membimbing pemain Bina Siwi adalah membuat senang hati para pemain serta tidak pernah menyalahkan selama bermain gamelan.
Irul pemain slenthem contohnya, menyadari keterbatasan fisik yang dimilikinya, ternyata tidak membuatnya kehilangan semangat bermain gamelan. Dalam suasana hati yang gembira, Irul menjawab bagaimana proses latihan yang dijalaninya, "mudah (sekali)".
Motivasi Irul dalam bermain gamelan adalah "(untuk) membudayakan gamelan." Jawaban yang membuat terharu siapapun yang mendengarnya di tengah keterbatasn fisiknya. Pada masa awal latihan, Irul yang suka memukul-mukul kotak sebagai mainan sehari-hari dilatih untuk memainkan gong. Namun kesulitan untuk bergerak agak cepat saat berbalik arah, akhirnya Irul dicobakan untuk memainkan slenthem.
Dan selama perform, dari sorot mata dan gerak tubuhnya, Irul sangat menikmati permainan bersama kelompoknya. Sebuah sajian yang mengharukan. Begitu juga dengan pemain lainnya, dengan kondisi yang tidak jauh dengan Irul, para pengrawit menyanyikan tembang dengan tidak kalah semangatnya. Dan bergembira.
Bagi warga Bina Siwi, menurut Sariyanto gamelan telah menjadi sarana terapi-edukasi yang cukup efektif bagi penyandang difabel dan down syndrome dalam lebih mengenali lingkungan, terlebih diri sendiri sehingga mampu lebih mandiri. Gamelan adalah bagaimana bermain dalam sebuah irama yang padu. Perlu kekompakan, komunikasi, interaksi berbagai arah yang berjalan secara alamiah dan berkelanjutan.
Perform sederhana Bina Siwi yang tidak sederhana menjadi gambaran yang jelas gamelan (bisa menjadi) milik semua orang.
Ada kegembiraan dalam permainan gamelan. Terlebih ada kehalusan rasa di dalamnya sebagaimana harapan Irul dalam bermain gamelan, "biar terketuk (hatinya)."
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...