Yogyakarta Kehilangan Rasa
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Kasus kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta memantik reaksi dari sejumlah aktivis yang tergabung dalam beberapa komunitas untuk menggelar aksi bertajuk “Jogja Ilang Roso” (Jogja Kehilangan Rasa). Salah satu faktor pemicu digelarnya aksi ini adalah kasus pembunuhan dua orang perempuan pada 28 April dan 2 Mei lalu.
Di luar pembunuhan dua perempuan berinisial S dan IM tersebut, aksi itu juga mengkritik pemberitaan di beberapa media yang dianggap mengabaikan rasa kemanusiaan. Pasalnya, pemberitaan terhadap kasus pembunuhan tersebut dianggap telah mengabaikan kode etik jurnalistik dengan menuliskan identitas korban beserta orang tua secara mendetail.
“Soal pemberitaan dengan penulisan nama korban secara lengkap disertai dengan pencantuman identitas secara terperinci, bahkan nama orang tua, dianggap telah melanggar kode etik jurnalistik. Jika kemudian muncul anggapan bahwa korban telah meninggal, maka penghormatan yang dilakukan melalui pemberitaan adalah menyangkut keluarga yang masih hidup,” demikian disampaikan oleh Anastasia Kiki dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dalam konferensi pers pada Selasa (5/5).
Kiki menambahkan JPY bersama Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH) dan komunitas perempuan lain akan mengirimkan surat ke Dewan Pers. Selain itu juga akan disampaikan hak koreksi dan hak jawab kepada masing-masing pemimpin redaksi dari media yang bersangkutan.
“Kami akan mengirimkan surat keberatan ke Dewan Pers. Selain itu juga akan mengirimkan hak koreksi dan hak jawab kepada masing-masing pemimpin redaksi dari media-media yang sudah kami daftar. Harapannya, ke depan media lebih punya perspektif dalam kasus yang menyangkut tentang perempuan. Penulisan berita adalah mengangkat tentang peristiwa, bukan mencari sensasi. Selama ini, media adalah partner untuk advokasi, khususnya bagi kasus kekerasan terhadap perempuan. Kami berharap hubungan tersebut akan terus berjalan,” ujar Kiki.
Hal senada juga disampaikan oleh Novianto, perwakilan dari keluarga korban EM. Menurut pria yang akrab disapa Novi ini, banyak pemberitaan di media yang dia nilai sebagai kebohongan belaka.
“Banyak pemberitaan di media yang bohong karena hasil otopsi belum keluar. Dari mana mereka bisa mendapatkan sumber padahal otopsi belum keluar? Saya berharap, para wartawan bisa memunculkan rasa tenggang rasa, bahkan melakukan permintaan maaf untuk pemberitaan yang saya nilai tidak benar tersebut,” ungkap Novi.
Di akhir acara, Tia Setiyani, aktivis perempuan di Yogyakarta, menyampaikan pernyataan sikap “Jogja Ilang Roso”, hilangnya rasa kemanusiaan dan kepedulian di DIY. Tiga poin dalam pernyataan sikap itu, pertama, kepekaan media dalam pemberitaan yang mengedepankan prinsip nondiskriminasi dan perlindungan korban, kedua, komitmen para kepala daerah untuk mengambil sikap dan melakukan aksi nyata pencegahaan melalui perluasan informasi dan akses pelayanan kesehatan reproduksi dan kekerasan terhadap perempuan, dan ketiga, menyerukan kepada masyarakat Yogyakarta untuk menghidupkan kembali kepedulian.
Aksi yang dihelat di Kantor LBH Yogyakarta, Jalan Ngeksigondo No 5 A, Kotagede, Yogyakarta itu diinisiasi JPY, One Billion Rising Yogyakarta, Perempuan Mahardika, dan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT). Aksi ini merupakan bentuk reaksi terhadap dua kasus pembunuhan terhadap perempuan, yaitu S yang telah ditemukan meninggal di kamar kos di daerah Seturan dalam kondisi melahirkan, dan EM yang juga ditemukan dalam kondisi telah meninggal di kamar kos di daerah Janti.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...