Aktivis Papua Nugini Ditahan Karena Demo Presiden Jokowi
PAPUA NUGINI, SATUHARAPAN.COM - Sejumlah aktivis Papua Nugini yang mendukung kemerdekaan Papua mengaku telah ditahan oleh polisi di Port Moresby tanpa dakwaan, karena menggelar unjuk rasa pada saat kedatangan Presiden Jokowi ke negara itu.
Mereka menandai kedatangan Presiden Jokowi di Port Moresby dengan memegang spanduk bertuliskan "Indonesia Hentikan Genosida di Papua Barat" dan langsung ditahan oleh polisi setempat segera setelah demonstrasi dimulai. Belakangan mereka mengapresiasi kebijakan terbaru pemerintah Indonesia mengenai Papua.
David Dom Kua, Sekretaris Jenderal Serikat PNG untuk Papua Barat, merupakan satu dari tujuh orang yang diamankan petugas dan ditahan tanpa dakwaan dalam kurun waktu enam jam.
"Polisi mengatakan kami harus mendapatkan izin dari mereka. Tapi ini negara demokrasi dan UU kita dan parlemen juga menjamin kebebasan berekspresi,” kata Kua seperti diberitakan radioaustralia.net.au, Selasa (12/5).
Presiden Jokowi mengunjungi Papua Nugini selama dua hari untuk bertemu dengan PM Peter O'Neill.
Polisi mengatakan para pengunjuk rasa mengganggu arus lalu-lintas di luar Bandara Internasional Jacksons di Port Moresby dan tidak memiliki izin untuk menggelar aksi di sana.
Namun Kua mengatakan kelompoknya bersama masyarakat sipil lainnya telah mendapat perintah dari pengadilan "beberapa waktu lalu " yang membolehkan mereka untuk melakukan aksi unjuk rasa.
Dia mengatakan perlakuan terhadap aksi damai yang mereka lakukan tidak konstitusional. "Mereka tidak mendakwa kami. Mereka hanya menahan dan mengunci kami selama enam jam," ungkap Kua.
Sementara itu, Gubernur Propinsi Oro, Gary Juffa, kepada ABC menyatakan tindakan kepolisian Papua Nugini melanggar perintah pengadilan.
"Itu bukan unjuk rasa yang berlangsun rusuh. Tidak ada kerumunan massa. Itu hanya aksi simbolik untuk menyatakan keprihatinan mengenai kekerasan dan aksi brutal yang terjadi di perbatasan Papua Barat.”
Isu kemerdekaan Propinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini merupakan isu sensitif bagi Indonesia.
Tahun lalu pengamat HAM mengatakan ada lebih dari 60 orang aktivis Papua dipenjarakan karena tuduhan pengkhianatan, banyak di antara mereka ditahan karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Awal pekan ini, Presiden Jokowi memberikan pengampunan bagi lima tahanan politik di Papua dan mencabut larangan peliputan bagi pers asing.
Kua mengatakan sebenarnya para pengunjuk rasa menyambut baik dan mengapresiasi langkah Presiden Jokowi tersebut. "Kami mengapresiasi beliau dan berterima kasih atas keputusannya membantu membebaskan lima tahanan politik di Papua, dan mencabut larangan peliputan media di Papua Barat," kata dia.
"Kedua hal ini merupakan pengabaian terhadap Papua yang telah berlangsung lama,” kata Kua.
Namun sebaliknya, Gubernur Propinsi Oro, Gary Juffa justru memandang sinis keputusan Presiden Jokowi tersebut yang disebutnya sebagai “politik bermain cerdas'. "Keputusan itu tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan,” katanya.
"Anda harus melakukan hal semacam ini untuk menunjukan kalau Anda benar-benar berbuat sesuatu, padahal pada kenyataannya Anda tidak melakukan apa-apa,” tambah Gubernur itu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...