IKOHI Kecam Pembubaran Pertemuan Korban 65
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mengecam keras tindakan oknum TNI, Polri dan ormas intoleran yang membubarkan acara pertemuan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966(YPKP65) di Wisma Coolibah Cianjur, Jawa Barat.
"Sebagai organisasi korban, sangat mengecam keras atas perbuatan oknum aparat TNI, Polri dan Ormas yang tidak bertanggung jawab atas pembubaran lokakarya YPKP 65 atau korban 65," kata Yeti, Ketua IKOHI di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, hari Jumat (15/4).
Menurut catatan IKOHI, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah hampir 30 kali kerusuhan dan konflik dibuat oleh oknum-oknum tersebut.
"Saya mendengar ada 30 kali selama Pemerintah Jokowi. Sudah ada trik-trik kerusuhan yang dibuat dan diskenario oleh oknum aparat," kata dia.
Yeti mempertanyakan di mana letak demokrasi dan rasa aman di Pemerintahan Jokowi, khsususnya bagi korban 65 yang sudah tua dan tidak mungkin membuat kekacauan.
"Selama pemerintahan Jokowi belum ada menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, dan satupun belum tersentuh," kata dia.
Menurut Yeti, IKOHI sangat prihatin melihat korban 65 yang sudah tua tapi pergi kemana-mana memperjuangkan haknya.
"Kita menuntut kepada Jokowi, bagaimana kebijakan dan keberanian Jokowi untuk menyelesaikan korban 65 ini," kata dia.
Sementara itu, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966(YPKP65) Bejo Untung mengatakan, peristiwa pembubaran tersebut dilakukan oleh oknum aparat bersama ormas terjadi pada hari Kamis, 14 April saat YPKP65 mengadakan lokakarya yang dihadiri sekitar 80 orang.
“Sebanyak 80 orang, yang hadir ada dari Pare Pare, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Balikpapan. Mereka datang atas biaya sendiri," kata dia.
"Pertemuan di Wisma Coolibah tersebut dalam rangka temu kangen, sebab sudah lama korban pelanggaran HAM tersebut tidak saling bertemu. Selain itu pertemuan rencananya juga diisi diskusi dan merancang satu sikap terhadap Pemerintah yang akan disampaikan dalam Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965” pada 18-19 April mendatang di Hotel Arya Duta Jakarta," kata dia.
Menurut Bejo, melalui simposium tersebut diharapkan bisa menghasilkan rekomendasi untuk Pemerintah dalam penyelesaian secara komprehensif kasus pelanggaran berat HAM dalam tragedi kemanusian 1965. Namun ada kekhawatiran dari YPKP jika simposium itu akan dijadikan legitimasi penyelesaian secara non yudisial saja.
"Sejak awal YPKP tidak menolak mekanisme rekonsiliasi secara non yudisial tetapi jangan menghilangkan proses hukum karena kita negara hukum ada kepastian hukum bahwa tidak mungkin ada rekonsiliasi tanpa didahului pengungkapan kebenaran,” kata dia
"Korban 65 menghendaki negara secepatnya memulihkan hak-hak kami para korban. Namun yang sangat saya sayangkan, tidak mungkin konsep rekonsiliasi berjalan sedangkan pertemuan kemarin saja tiba-tiba dilarang dan ada aksi dari sekelompok intoleran dalam acara tersebut," kata dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...