Irak (bagian V): Hukum Ambruk, Korupsi Meningkat
Baca Juga: Irak (bagian IV): Lahir Negara Kurdistan?
Baca Juga: Irak (bagian III): Dari Sisi Sunni, Syiah, Kristen
Baca Juga: Irak (bagian II): Gagal Membangun Pemerintahan Bbersama
Baca Juga: Irak (bagian I) : Peta Retak Oleh Konflik Sektarian
SATUHARAPAN.COM – Irak jatuh dalam jurang yang dalam, terutama ketika perubahan besar dari pemerintahan Sadham Husein dan proses pembersihan dari semua unsur Partai Baath di seluruh lemabaga pemerintahan. Namun pemerintah baru dan Amerika Serikat yang mendudukinya gagal membangun penegakan hukum dan ketertiban.
Ambruknya hukum dan ketertiban pun berlanjut sebagai penyebab merajalelanya korupsi. Transparency International pernah mengatakan bahwa Irak adalah negara yang paling korup di antara negara-negara seluruh wilayah Timur Tengah. Korupsi ditemukan di setiap tingkat pemerintahan.
Salah satu contoh yang menjadi pemberitaan yang luas adalah kasus Gubernur Provinsi Ninewe, Atheel Nujaifi. Mantan pejabat pemerintahaan di ibu kota Ninewe, Mosul, Zuhair Chalabi, seperti dikutip ankawa.com, menjelaskan bagaimana gubernur yang digulingkan itu memungut dari setiap transaksi. "Apakah itu pembelian semen, atau kontrak untuk menyediakan minyak atau mengumpulkan sampah, dia mendapat bagiannya," kata Chalabi. "Ini berjumlah jutaan dolar per bulan."
Tentara Hantu
Kasus korupsi yang parah di Irak adalah skandal yang disebut sebagai Ghost Soldiers atau tentara hantu. Yaitu tentara fiktif, tetapi negara setiap bulan harus mengeluarkan dana untuk membayarnya. Dana itu masuk ke kantong pejabat kementerian dalam negeri, dan 24 pejabat dipecat.
Kantor Perdana Menteri Irak marah besar dengan adanya 50.000 nama fiktif dalam militer Irak yang menyebabkan lemahnya keamanan di negara itu, seperti diberitakan juga oleh satuharapan.com Desember lalu.
Sejak menjabat pada bulan September, Haider al-Abadi telah memecat beberapa komandan militer karena korupsi. Dia ingin mereformasi militer dan memutus korupsi dan patronase di bawah kepemimpinan pendahulunya, Nouri al-Maliki.
Kasus korupsi di militer itu barulah satu kasus, dan diyakini di belakang itu kasusnya masih banyak. Hal itu juga yang diyakini menyebabkan militer Irak begitu lemah menghadapi serangan ISIS. Serangan pada pertengahan 2014 ke wilayah utara, seperti tidak mendapatkan perlawanan.
Abadi sendiri berupaya untuk memperbaiki situasi sosial, karena parahnya permusuhan antara suku-suku Sunni dan pemerintah Maliki yang Syiah.
Kantor berita AP, berdasarkan infromasi pejabat senior, Irak kehilangan US$ 47 juta dari kasus Ghost Soldiers saja. Sementara itu, banyak kasus yang melibatkan pejabat militer yang mengambil senjata dan amunisi untuk dijual di pasar bebas, serta prajurit yang tidak bekerja tetapi menjadi penjaga untuk kepentingan individu telah menjadi praktik yang sering terjadi. Hal ini menciptakan buruknya keamanan di negeri itu.
Korupsi di Irak telah menjadi masalah serius, yang menyebabkan masalah keamanan makin sulit dibangun, bahkan membangun pemerintahan yang mendapatkan dukungan semua unsur menjadi makin tak terbayangkan. Masalah utamanya adalah politik identitas dan politik sektarian yang mengeras, mengakibatkan suburnya prilaku diskriminatif, keruntuhan hukum dan korupsi.
Laporan surat kabar The Independent mengutip ilmuwan politik di Irak menyebutkan, "Korupsi adalah luar biasa," kata Ghassan al-Atiyyah, seorang ilmuwan politik dan aktivis di Irak.
"Anda tidak bisa mendapatkan pekerjaan dalam militer atau pemerintah kecuali Anda membayar; Anda bahkan tidak bisa keluar dari penjara kecuali Anda membayar. Mungkin hakim membebaskan Anda, tetapi Anda harus membayar untuk dokumen, atau Anda tinggal di sana. Bahkan jika Anda bebas Anda dapat ditangkap oleh beberapa petugas yang meminta US$ 10.000 sampai US$ 50.000 untuk pekerjaannya itu.
Di Irak, semua untuk dijual. Seorang mantan tahanan mengatakan bahwa dia harus membayar penjaga sebanya US$ 100 untuk sekali mandi. Pemerasan adalah norma. Bahkan seorang pengusaha bisa membangun rumahnya di atas pipa minyak yang ditanam di bawahnya, mengebornya dan tersedot banyak minyak.
Pelecehan Perempuan
Konsekuensi lain dari pelanggaran hukum adalah meningkatnya kriminalitas, bahkan orang menculik untuk mendapatkan uang tebusan. Sebuah catatan menyebutkan terjadi ledakan jumlah insiden pelecehan seksual terhadap perempuan. Padahal, kegagalan sebuah negara dalam penegakkan hukum selalu terlihat dari kegagalan melindungi yang warga paling lemah.
"Selalu ada kasus pelecehan di negeri ini," kata Prof. Bushra al-Obeidi, seorang profesor hukum dan hak asasi manusia di Universitas Baghdad. "Tapi tingkat perilaku seperti itu saat ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata dia seperti dikutip ankawa.com.
Dia dan tim mahasiswa pascasarjana mendokumentasikan kasus dan menemukan kasus pelecehan menjadi lazim dalam sistem peradilan. Temuan itu antara lain menunjukkan jaksa menawarkan tuntutan yang lunak bagi terdakwa dengan ‘’gratifikasi seks.’’ Hal serupa terjadi di universitas, di mana dosen atau profesor menawarkan nilai yang lebih baik, serta di pos pemeriksaan militer di mana perempuan sering ditahan dan dilecehkan.
Di kantor sebuah yayasan keagamaan yang diciptakan untuk membantu para janda dan wanita yang bercerai, Prof. Bushra menemukan bahwa banyak pria mencoba membujuk para perempuan untuk melakukan hubungan seks dengan menawarkan untuk masuk ke dalam apa yang disebut "kawin kontrak." Praktik ini dilarang semasa rezim Saddam Hussein, tapi sekarang telah muncul kembali, karena inisiatif anggota parlemen.
Saddam Hussein mungkin seorang diktator kejam, tapi dia memastikan tiga hal penting: bahwa perawatan kesehatan berkualitas tinggi tersedia secara bebas; bahwa tingkat melek huruf Irak merupakan yang tertinggi di dunia Arab; dan perempuan menikmati kesetaraan yang lebih besar daripada di negara Arab lainnya. Itu diterapkan untuk melindungi perempuan dari pelecehan juga, kata Prof. Bushra.
Hilangnya Pluralitas
Irak, yang meskipun dikecam dalam perespons kelompok Kurdi, pernah menjadi negara yang memiliki wajah sebagai negara dengan pluralitas warganya, termasuk aktivitas mereka dalam seni dan budaya. Pemerintah mendanai kegiatan kebudayaan, bahkan juga mempunyai anggaran untuk orkestra dan teater, serta sekolah balet.
Namun sekarang, seperti dilaporkan ankawa.com, kegiatan seni nyaris hilang oleh konservatisme agama. Kegiatan yang dulu sebagai tempat di mana warga Sunni, Syiah dan Kristen bertemu dan saling menghargai, tidak ada lagi. Bioskop telah hilang dari ibu kota, dan hanya ada di Kurdistan.
Sekolah Musik dan Ballet Baghdad yang dibangun sebagai salah satu benteng toleransi didirikan pada tahun 1967 mengalami kemerosotan. "Ini adalah satu-satunya sekolah menengah campuran di negara ini," kata direktur Ahmed Selim Ghani.
Irak sekarang telah mengalami segregasi sosial atas dasar perbedaan sekte dan etnis, dan makin banyak kehilangan ruang publik bersama untuk saling mengenal dan menghormati. Hal ini akan menjadi masalah awal di mana solusi politik selalu sulit ditemukan tanpa menimbulkan luka akibat prosesnya diwarnai dominasi dan marjinalisasi.
Hari Depan Irak
Apa yang mungkin ditemukan oleh Irak untuk hari depannya? Mungkin segera Irak mengalahkan ISIS, dan akan segera muncul gelombang dalam agenda warga Syiah yang membersihkan wilayah tengah sebagai wilayah didominasi Syiah. Kemungkinan akan lahir negara baru dengan basis Syiah yang kuat, dan memiliki ikatan yang kuat dengan Iran.
Namun apakah kemenangan pada ISIS, bisa diartikan kemenangan bagi Irak, jika pada akhirnya berakibat warga Sunni termarjinalkan. Unit tentara yang dipimpin Syiah, milisi dan relawan Syiah mungkin berhasil mengusir militan ISIS di beberapa daerah utara dan timur Baghdad. Namun dalam prosesnya, warga Sunni dicegah untuk kembali ke rumah mereka.
Dari sejumlah laporan, beberapa kasus menunjukkan rumah-rumah hancur, bukan oleh pasukan ISIS tetapi oleh unit Syiah Irak. "Sekarang sangat sulit bagi warga Sunni untuk kembali ke rumah mereka... Ini adalah ketakutan yang sesungguhnya pada mereka," kata Hamed al-Mutlaq kepada kantor berita AP.
Laporan lain menyebutkan warga Sunni yang memilih untuk tinggal di rumah mereka selama pendudukan ISIS sering diperlakukan sebagai pengkhianat. Ada kasus orang yang sedang dipenjara dan keluarga diusir. Properti mereka disita.
Perdana Menteri Haider al-Abadi berasal dari komunitas Syiah, dan dia berbicara menentang perilaku seperti itu, yang disebutnya bernada pembersihan etnis. Meskipun melancarkan kritik seperti itu, dia tetap melanjutkan serangan yang dibantu koalisi internasional untuk menghabisi ISIS.
Situasinya memang menjadi sangat pelik dan dilematis, dan tampaknya belum terlihat peta yang menggambarkan Irak bagi semua unsur yang memperkaya negeri yang pernah menjadi kelahiran banyak peradaban itu. Ini akibat konflik sektarian yang berlangsung panjang, dan politik identitas yang terus mengeras di negeri ini.
"Apa yang kita hadapi di sini adalah upaya nyata perubahan demografis (di Irak)," kata politisi Sunni, Hamed al-Mutlaq, menandai sepinya upaya untuk membangun semangat hidup berdampingan yang saling menghormati dalam negeri Irak baru.
Jika ini yang terjadi hanya akan menjadi catatan yang memalukan bagi banyak pihak yang bertanggung jawab pada nasib manusia: ISIS dengan kebiadabannya, pembalasan warga Syiah, Pemerintah Irak, AS dan negara Barat yang telah memutuskan intervensi ke negari itu namun hanya meninggalkan puing, dan negara-negara lain yang terlibat, termasuk PBB.
PM Lebanon Minta Iran Bantu Amankan Gencatan Senjata Perang ...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Perdana Menteri sementara Lebanon pada hari Jumat (15/11) meminta Iran untuk...