Jaga citra, Hindari Conflict of Interest
SATU HARAPAN.COM – Kakek saya guru sekaligus kepala sekolah di mana ibu saya bersekolah. Suatu saat sekolah menyelenggarakan lomba menulis indah. Ibu saya menjadi salah satu pesertanya.
Malam sebelum pengumuman hasil lomba, ibu saya dipanggil ayahnya untuk suatu pembicaraan serius. Ibu saya ternyata mendapat nilai tertinggi, namun ayahnya minta agar ia mau menerima kenyataan bahwa hadiah juara pertama tidak akan diberikan kepadanya.
Jika ibu saya menjadi juara pertama—sekalipun benar demikian—pastilah akan ada kecurigaan bahwa Sang Ayah terlibat konflik kepentingan, memenangkan anaknya sendiri. Sekalipun ia tahu bahwa anaknya akan menjadi korban, ia yakin anaknya bisa memahami, ada nilai yang lebih penting yang harus dipertahankan di sini.
Contoh lain: seorang kawan berkebangsaan Australia saya minta untuk menjadi auditor di tempat kerja saya. Dia bekerja sebagai auditor bagi lembaga sertifikasi terpandang dan kami memiliki hubungan kerja dalam pengembangan profesi. Dengan halus ia menolak dengan alasan tidak ingin terjadi Conflict of Interest. Karena telanjur menjadi rekan kerja saya, ia merasa tak baik menjadi pihak yang menilai. Sulit bersikap objektif dalam menilai kinerja mitra kerja.
Pertentangan kepentingan—conflict of interest—sangat jarang kita dengar menjadi topik bahasan di negeri kita. Sebaliknya, banyak orang tanpa rasa rikuh justru memanfaatkan situasi demi kenikmatan sendiri. Kolusi adalah hasil konflik kepentingan yang justru dimanfaatkan untuk menarik keuntungan. Memang tidak mudah memahami conflict of interest sebagai hal yang tidak pantas karena apa yang dilakukan oleh banyak orang rasanya sah-sah saja.
Benturan kepentingan antara kewajiban dalam organisasi atau tempat kerja di satu sisi dengan kepentingan diri sendiri atau kelompok di sisi lain membuat seseorang sulit untuk tetap netral dan objektif dalam bersikap dan mengambil keputusan.
Orang seharusnya menghindari untuk terlibat dalam situasi yang mengandung konflik kepentingan karena pasti akan sulit baginya untuk membuat keputusan yang objektif. Bila telanjur berada dalam situasi konflik kepentingan, maka benar atau salah keputusannya, pihak lain akan cenderung meragukan objektivitasnya. Konflik kepentingan menodai objektivitas, menodai netralitas. Konflik kepentingan menodai kredibilitas seseorang. Orang yang membiarkan konflik kepentingan mewarnai tindakannya akan kehilangan kepercayaan orang lain.
Banyak aspek pekerjaan maupun sosial yang membutuhkan kepekaan nurani dalam menanggapi isu konflik kepentingan. Tiap kali orang perlu bertanya pada diri sendiri untuk memastikan bahwa ia terbebas dari konflik kepentingan. Misalnya, apakah dalam melerai perselisihan dua teman tidak ada kecenderungan membela pihak yang kebetulan saudara sepupu?
Suatu renungan yang tidak mudah, namun amat penting demi pemeliharaan citra diri.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...