20 Ribu Hektar Sawit GAR Caplok Hutan Primer Papua
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perkebunan sawit seluas 20 ribu hektare yang dikelola Golden Agri Resources (GAR) milik Grup Sinarmas, masih berada di dalam area Penundaan Izin Baru pada Hutan Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut peta moratorium) berdasarkan Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tanggal 20 Mei 2011.
Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru Greenomics berjudul “What are Golden Agri’s plans for its new palm ouil concession in Papua’s forests? Laporan ini dipublikasikan tanggal 27 Juni 2013 lalu.
Keterangan Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Minggu (21/7), perkebunan sawit seluas itu merupakan hasil ekspansi usaha GAR di hutan primer Papua.Izin ekspansi sawit tersebut diperoleh setelah mengeluarkan areal tersebut dari kawasan moratorium hutan primer.
Laporan Greenomics Indonesia, sebagaimana dilansir Antara, menyebutkan bahwa GAR yang merupakan grup bisnis sawit terbesar kedua di dunia, pada akhir Juli 2012 memperoleh izin pelepasan sebagian kawasan hutan Papua yang berlokasi di Kabupaten Jayapura seluas 20.143,30 ha, setelah mendapatkan izin prinsip pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan pada Maret 2011.
Namun demikian, areal tersebut ternyata masuk ke dalam areal Penundaan Izin Baru pada Hutan Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut "peta moratorium") berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 20 Mei 2011.
Izin Prinsip
Elfian menyatakan, cara satu-satunya untuk meneruskan proses pelepasan kawasan hutan adalah dengan mengeluarkannya dari peta moratorium, yang secara legal memang dimungkinkan karena telah mendapatkan izin prinsip sebelum diterbitkannya peta moratorium.
"Akhirnya, pada peta moratorium revisi I yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan pada 22 November 2011, calon areal sawit anak usaha GAR tersebut sudah dihapuskan dari areal moratorium," katanya.
Menurutnya, mayoritas hutan Papua yang dilepas untuk ekspansi sawit GAR tersebut masih baik tutupan lahannya, di mana lebih dari 76 persen merupakan areal berhutan.
Bahkan, berdasarkan data shape file peta moratorium hasil interpretasi Kementerian Kehutanan tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009, areal tersebut merupakan hutan primer.
"Makanya, relevan mengapa areal tersebut sempat dimasukkan ke dalam peta moratorium," ujar Elfian.
Pembukaan Hutan
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan pada 2011, tutupan lahan hutan Papua yang dilepas untuk perkebunan sawit GAR tersebut, lebih dari 97 persen merupakan tutupan hutan dalam kondisi baik, yaitu berupa hutan primer seluas lebih dari 15 ribu ha dan hutan sekunder lebih dari 4.500 ha, sisanya 549 ha berupa kebun sawit.
"Ini menarik, karena ternyata terdapat kebun sawit seluas 549 ha pada areal yang diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan tersebut. Artinya, telah terjadi pembukaan kawasan hutan Papua sebelum adanya izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan," ujar Elfian.
Menurut dia, dalam SK Menhut pelepasan kawasan hutan untuk anak usaha GAR tersebut, disebutkan kewajiban memproteksi areal HCVF di areal tersebut.
Oleh karena itu, tambahnya, hal itu tantangan bagi GAR dalam mengimplementasikan kebijakan konservasi hutannya, karena telah diwajibkan oleh Pemerintah Indonesia, bukan lagi sekadar dari komitmen GAR.
Elfian menyatakan, Greenomics Indonesia minta GAR menjelaskan kepada publik tentang rencana operasinya terhadap areal izin pelepasan kawasan hutan Papua yang mayoritas tutupan lahannya berupa hutan alam yang masih baik.
Gandeng China
Kondisi hutan provinsi Papua saat ini semakin memprihatinkan, tiap harinya pohon ditebangi sehingga yang tersisa kini hanya 23 juta hektar. Pemerintah daerah Papua menyatakan bahwa pengusaha dari China yang menjadi biang keladinya. (himpalaunas.com, 10/1/2012)
China berperan besar dalam menggunduli hutan Papua, menurut pejabat di pemerintah provinsi Papua, karena mengucurkan dana operasional para pengusaha hutan di Papua. Kecenderungan pengusaha dalam negeri memilih bekerja sama dengan pengusaha asing, khususnya yang berasal dari China, karena kekurangan modal dan tawaran menggiurkan dari pengusaha bersangkutan.
Akibatnya, kebanyakan kayu log asal Papua dibawa ke negeri China untuk diolah dan dipasarkan di negeri tirai bambu itu. Harga kayu Papua yang dijual di Papua seharga Rp2 juta per meter kubik, sesudah diolah di Cina bisa sampai ratusan juta rupiah per meter perseginya.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...