30 Persen Kursi Perlemen Benarkah untuk Perempuan?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam undang-undang kalau mau bikin partai tertulis sekurang-kurangnya harus ada 30 persen perempuan. Tapi kata sekurang-kurangnya ini sering diartikan berbeda oleh tiap pihak. Sebagaimana dituturkan Direktur Eksekutif Perempuan Dalam Politik, Titi Sumbung, dalam sambutannya sebagai keynote speaker acara Managing Our Nation dengan tema “Menyoal Perempuan dalam Pembangunan” yang bertempat di Kampus PPM Manajemen, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/11).
Titi menghargai upaya KPU saat ini sudah membuat peraturan pelaksanaan pemilu, kalau suatu partai politik tidak memiliki wakil perempuan 30 persennya, tidak boleh ikut pemilu. Di kabupaten lain pun ini sudah berlaku.
Tapi karena sulitnya partai mencari wanita sampai 30 persen, diambilah siapa saja yang mereka kenal, istri maupun sanak keluarganya. “Saya berani bicara begini karena mereka sendiri yang mengatakannya. Jadi kondisi seperti inilah yang disebut kaleng kosong,” keluh Titi.
Selain itu, 30 persen kursi untuk perempuan seolah-olah sengaja disisakan dan akan diberikan begitu saja seperti layaknya hadiah. “Kita tidak mau hadiah, kita mau ikut berjuang. Jadi tetap kita mau menggunakan demokrasi langsung dipilih oleh rakyat, dengan catatan harus ada 30 persen tadi untuk perempuan yang berkualitas,” ujar Titi.
Oleh karena itu perempuan perlu ditingkatkan dulu kapasitasnya. Oleh karena itu pihaknya sudah membuat yudisial review, namun sayangnya sampai sekarang belum ada keputusan.
Sampai sekarang mungkin masih banyak yang belum paham yang namanya jender. Masalah jender adalah bagaimana kita mengoptimalkan potensi dan kontribusi semua warga, baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda.
Komisi Strategis Masih Dikuasai Koruptor
Sedangkan menurut pendapat ahli Filsafat dan Dosen Universitas Indonesia, Rocky Gerung, di dalam partai, pendidikan politik tidak memasukkan aspek jender, apalagi partai-partai yang berbasis agama misalnya, itu pasti dianggap bukan wilayah perempuan. Hal itu berakibat pada distribusi kursi di DPR, komisi-komisi strategis dikuasai oleh laki-laki yang menjadi peluang besar terjadi korupsi.
Rocky Gerung menilai, perempuan punya hak normatif yang sama untuk duduk dalam semua komisi DPR. Tapi kalau komisi itu menyangkut keuangan atau pertahanan misalnya, maka fungsi di DPR didasarkan pada cara berpikir laki-laki bahwa perempuan tidak mengerti pertahanan, susah untuk mengawasi mitra kerjanya.
"Maka perempuan akan ditempatkan di komisi yang dianggap lebih feminis, misalnya pendidikan atau sosial. Munculnya pemikiran demikian karena subkultur kita merupakan subkultur patriarkis," kata Rocky Gerung.
"Mestinya ada paksaan undang-undang bahwa pendidikan demokrasi diwajibkan pada semua partai termasuk pendidikan gender equality," usul Rocky Gerung.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Ketum PGI: Jadilah Pembawa Harapan di Tengah Dunia yang Penu...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Dalam ketidakberdayaan dan solidaritas Allah yang hadir bagi yang kecil, te...