300 Pengungsi Rohingya Mendarat di Aceh, 30 Diduga Tewas di Laut
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Sebanyak 300 orang pengungsi Rohingya mendarat di Aceh pada hari Senin (7/9) pagi, menurut laporan badan pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa, UNHCR).
Disebutkan bahwa para pengungsi, berjumlah sekitar 330 telah berangkat dalam perjalanan di Cox's Bazar, Bangladesh selatan, pada bulan Februari. Setelah berbulan-bulan di laut dalam kondisi putus asa, sekitar 300 orang mendarat di pantai utara Aceh, Indonesia, pada hari Senin pagi. Lebih dari 30 orang diyakini tewas di laut.
“Cobaan berbahaya mereka telah diperpanjang oleh keengganan kolektif negara untuk bertindak selama lebih dari enam bulan,” kata Indrika Ratwatte, Direktur UNHCR untuk Asia dan Pasifik, mengatakan dalam sebuah pernyataan di situs PBB.
Badan PBB mencatat bahwa “Proses Bali” yang dibuat oleh negara-negara di kawasan untuk mencegah tragedi tersebut terjadi, gagal menyelamatkan nyawa melalui penyelamatan dan pendaratan. Ia menambahkan, kelompok pengungsi telah berulang kali mencoba turun selama perjalanan, tetapi tidak berhasil.
“Pengungsi telah melaporkan bahwa puluhan orang meninggal sepanjang perjalanan. UNHCR dan badan lainnya telah berulang kali memperingatkan konsekuensi yang mengerikan jika pengungsi di laut tidak diizinkan untuk mendarat dengan cara yang aman dan bijaksana. Pada akhirnya, kelambanan selama enam bulan terakhir berakibat fatal,” kata Ratwatte.
Mengingatkan Proses Bali
Staf UNHCR di Aceh mendukung pemerintah daerah untuk memeriksa kebutuhan para pengungsi. Prioritas utama adalah memberikan pertolongan pertama dan perawatan medis sesuai kebutuhan. Semua akan diuji COVID-19 sesuai dengan standar ukuran kesehatan di Indonesia untuk semua pendatang.
Disebutkan bahwa di antara mereka yang diselamatkan, dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak.
Proses Bali dimulai pada Konferensi Tingkat Menteri tahun 2002 tentang Penyelundupan Orang, Perdagangan Orang dan Kejahatan Transnasional Terkait yang diadakan di Bali, Indonesia. Ini bertujuan untuk menangani masalah-masalah praktis yang berkaitan dengan penyelundupan, perdagangan manusia dan kejahatan lintas negara terkait.
Krisis pengungsi Rohingya yang kompleks meletus pada Agustus 2017, menyusul serangan terhadap pos polisi terpencil di Myanmar utara oleh kelompok bersenjata yang diduga anggota komunitas tersebut. Ini diikuti oleh serangan balasan sistematis terhadap minoritas, terutama Muslim, Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia, termasuk pejabat senior PBB, dianggap sebagai pembersihan etnis.
Dalam beberapa pekan berikutnya, lebih dari 700.000 orang Rohingya, sebagian besar dari mereka anak-anak, perempuan dan orang tua, meninggalkan rumah mereka demi keselamatan di Bangladesh.
Sebelum eksodus massal, lebih dari 200.000 pengungsi Rohingya berlindung di Bangladesh sebagai akibat dari pengungsian sebelumnya dari Myanmar.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...