Saya Gumbo Paul, melarikan diri dari Bentiú bersama istri dan kelima anak saya ketika konflik pecah pada Desember. Kami telah mengungsi selama dua bulan, namun ketika angin dan hujan turun minggu lalu, plastik yang kami gunakan sebagai atap rusak dan beberapa tiang mulai longgar dan tak lagi tahan air. Hari ini kami memutuskan untuk membangun dari awal lagi. Jika kami berempat bekerja sama, ini akan selesai cepat, dalam dua atau tiga jam. (Foto: ACT)
Nama saya Ayak Yangalis. Saya tak lagi tahu berapa usia saya. Yang saya tahu, saya sudah tua. Saya berasal dari Bor, tetapi telah tinggal di sisi lain sungai sejak krisis terjadi, sekitar dua bulan atau lebih. Tak ada tempat tinggal di sana, kami hidup di bawah pohon. Tidak nyaman rasanya karena kini mulai hujan. Kemarin anak saya kembali ke Bor dengan perahu untuk melihat keadaan. Katanya, keadaan sudah aman. Jadi saya berperahu pagi ini ke Bor. Rumah kami telah terbakar, tetapi PBB dan LSM mengirimkan peralatan agar kami bisa membangun tempat berlindung. Jadi, di sinilah saya.
Nama saya Mon Leu Chol, usia 28 tahun. Saya mengungsi bersama suami dan keempat anak saya, dan satu anak lagi masih dalam perjalanan. Rumah ini bukanlah rumah kami; tidak seorang pun yang mengatakan kami bisa tinggal di sini, tetapi kami menemukan rumah ini kosong dan kami langsung pindah ke sini. Rumah ini sebenarnya cukup baik, tetapi butuh empat rumah seperti ini untuk menampung keluarga saya. Di Duk, utara Bor, kami memiliki rumah utama dan empat bangunan tambahan. Sedangkan di sini... Di sana kami memiliki kebun yang luas dan saya bisa menanam sayuran, kacang tanah, dan jagung. Dulu kami memiliki hidup yang baik. Andai saja tidak ada musuh, kami bisa kembali ke sana. Andai saja ada kedamaian.
Saya Rebecca Adau Deng, 43 tahun, berasal dari Panyagor. Saya mengungsi ke Bor karena konflik yang terjadi. Saya khawatir konflik menyebar ke kampung kami, jadi kami mengungsi ke sini di mana pemerintah memiliki kontrol. Saya datang hanya dengan pakaian yang saya kenakan hari ini. Saya ke tempat ini bersama suami dan enam anak saya, dua minggu lalu. Butuh satu minggu untuk tiba di sini. Kami menempati rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya, namun mereka mungkin akan kembali kapan saja. Jadi kami harus membangun tempat kami sendiri. Dengan peralatan dan tiang-tiang bambu, kami akan membangun rumah kami.
Saya Rachel Abduk Giico. Saya tidak tahu usia saya, yang jelas saya sudah tua. Saya berasal dari Bor. Konflik membuat kami buta dan marah. Mereka membunuh keenam anak saya dan juga suami saya. Saya harus pindah. Saya berperahu ke seberang sungai White Nile dan melanjutkan berjalan kaki ke Juba bersama sekelompok besar orang. Perjalanan ini membutuhkan lima hari dan sangat berat bagi saya. Tuhan menolong saya melalui semua ini. Sekarang saya tinggal di Nimule di perbatasan dengan Uganda. Saya merasa aman karena tidak terdengar bunyi tembakan di sini. Saya tinggal sendiri di sini walau saya sakit, saya merasa ada tekanan di pembuluh darah sebelah kiri, tapi saya tidak memiliki akses pengobatan.
Nama saya Addar Mayar. Saya berusia 41 tahun, berasal dari Mayom. Saya bersama istri dan keenam anak saya meninggalkan Mayom karena konflik. Sudah dua setengah bulan kami di sini. Saya bekerja sebagai nelayan. Hidup di pengungsian cukup baik. Ada asupan air yang mudah dicapai. Kami tidak sakit. World Food Programme (WFP) memberikan kartu ransum sebelum kami tiba, tapi sekarang tidak lagi. Jadi ketika orang lain menerima makan, kami tidak. Tetapi orang-orang lokal mengatakan ada ikan di sungai. Jadi saya pergi dengan mereka dan melihatnya sendiri. Jadi sekarang saya membuat jaring sendiri.
Nama saya Achil Ariik Mayuen, usia saya 28 tahun dan saya lahir tidak jauh dari sini di Warrap. Saya tinggal di gubuk ini bersama suami dan ketujuh anak saya. Ini adalah tempat yang sulit untuk ditinggali. Iklimnya keras. Pengungsi internal (IDPs) tiba di sini sejak tiga bulan lalu. Pemerintah mengatakan kepada mereka untuk menetap di sini, tepat di sebelah tanah kami. Kami tidak masalah jika IDP tinggal di sini. Malahan, kami menolong mereka dan mereka menolong kami. Saya memandang mereka sebagai tamu di sini, dan ini kewajiban saya untuk membuat tamu saya merasa diterima. Saya harus berbagi makanan ketika mereka tidak memiliki makanan. Mengurus tamu adalah budaya di sini.