70 Persen Warga Etnis Armenia Meninggalkan Nagorno-Karabakh
YEREVAN, SATUHARAPAN.COM-Lebih dari 70% penduduk asli Nagorno-Karabakh telah mengungsi ke Armenia ketika pemerintah separatis di kawasan itu mengatakan akan membubarkan diri dan republik yang tidak diakui di Azerbaijan akan lenyap pada akhir tahun setelah upaya selama tiga dekade untuk kemerdekaan.
Pada hari Jumat pagi, 84.770 orang telah meninggalkan Nagorno-Karabakh, menurut pejabat Armenia, melanjutkan eksodus massal etnis Armenia dari wilayah tersebut yang dimulai pada hari Minggu (24/9). Populasi wilayah ini berjumlah sekitar 120.000 jiwa sebelum eksodus dimulai.
Langkah tersebut dilakukan setelah Azerbaijan melancarkan serangan kilat pekan lalu untuk mendapatkan kembali kendali penuh atas wilayah yang memisahkan diri tersebut dan menuntut agar pasukan Armenia di Nagorno-Karabakh dilucuti dan pemerintah separatis dibubarkan.
Sebuah dekrit yang ditandatangani oleh presiden separatis di wilayah tersebut, Samvel Shakhramanyan, mengutip perjanjian 20 September untuk mengakhiri pertempuran di mana Azerbaijan akan mengizinkan “pergerakan bebas, sukarela dan tanpa hambatan” bagi penduduk Nagorno-Karabakh ke Armenia.
Beberapa dari mereka yang meninggalkan ibu kota wilayah Stepanakert mengatakan mereka tidak mempunyai harapan untuk masa depan.
“Saya meninggalkan Stepanakert dengan sedikit harapan bahwa mungkin sesuatu akan berubah dan saya akan segera kembali, dan harapan ini hancur setelah membaca tentang pembubaran pemerintah kami,” kata Ani Abaghyan, mahasiswa berusia 21 tahun, kepada The Associated Press.
“Saya tidak ingin tinggal bersama orang Azerbaijan,” kata Narine Karamyan, 50 tahun. “Mungkin ada beberapa orang yang akan kembali ke rumahnya. Saya tidak menginginkan itu. Saya ingin hidup sebagai orang Armenia.”
Selama tiga dekade konflik di wilayah tersebut, Azerbaijan dan kelompok separatis di Nagorno-Karabakh, serta sekutunya di Armenia, saling menuduh satu sama lain melakukan serangan yang ditargetkan, pembantaian, dan kekejaman lainnya, sehingga membuat masyarakat di kedua belah pihak sangat curiga dan takut.
Meskipun Azerbaijan telah berjanji untuk menghormati hak-hak etnis Armenia di wilayah tersebut, sebagian besar kini melarikan diri karena mereka tidak yakin pemerintah Azerbaijan akan memperlakukan mereka dengan adil dan manusiawi atau menjamin bahasa, agama, dan budaya mereka.
Setelah enam tahun pertempuran separatis yang berakhir pada tahun 1994 setelah runtuhnya Uni Soviet, Nagorno-Karabakh berada di bawah kendali pasukan etnis Armenia, yang didukung oleh Armenia. Kemudian, selama perang enam pekan pada tahun 2020, Azerbaijan merebut kembali sebagian wilayah di Pegunungan Kaukasus selatan beserta wilayah sekitarnya yang telah diklaim sebelumnya oleh pasukan Armenia. Nagorno-Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Azerbaijan.
Armine Ghazaryan, yang menyeberang ke Armenia dari Nagorno-Karabakh bersama keempat anaknya yang masih kecil, mengatakan kepada AP bahwa ini adalah kedua kalinya dia mengungsi dari rumahnya, dan mengatakan bahwa dia sebelumnya berlindung bersama anak-anaknya di ruang bawah tanah tetangganya selama perang pada tahun 2020.
“Setidaknya kita hidup damai di sini. Setidaknya kami tinggal di Armenia,” katanya setelah tiba di kota Goris, Armenia.
Pada bulan Desember, Azerbaijan memblokir satu-satunya jalan yang menghubungkan Nagorno-Karabakh dengan Armenia, dengan tuduhan pemerintah Armenia menggunakannya untuk pengiriman senjata ilegal ke pasukan separatis di wilayah tersebut.
Armenia menuduh penutupan tersebut menghalangi pasokan makanan pokok dan bahan bakar ke Nagorno-Karabakh. Azerbaijan menolak tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa wilayah tersebut dapat menerima pasokan melalui kota Aghdam di Azerbaijan, sebuah solusi yang telah lama ditentang oleh otoritas Nagorno-Karabakh, yang menyebutnya sebagai strategi bagi Azerbaijan untuk menguasai wilayah tersebut.
Pada hari Senin (25/9) malam, reservoir bahan bakar meledak di sebuah pompa bensin tempat orang-orang mengantri untuk mendapatkan bahan bakar untuk mengisi mobil mereka untuk melarikan diri ke Armenia. Setidaknya 68 orang tewas dan hampir 300 orang terluka, dengan lebih dari 10 orang lainnya masih dianggap hilang setelah ledakan, yang memperburuk kekurangan bahan bakar yang sudah parah setelah blokade.
Pada hari Kamis (28/9), pihak berwenang Azerbaijan mendakwa Ruben Vardanyan, mantan kepala pemerintahan separatis Nagorno-Karabakh, dengan tuduhan mendanai terorisme, membentuk formasi bersenjata ilegal, dan melintasi perbatasan negara secara ilegal. Sehari sebelumnya, dia ditahan oleh penjaga perbatasan Azerbaijan saat mencoba meninggalkan Nagorno-Karabakh menuju Armenia bersama puluhan ribu orang lainnya.
Vardanyan, seorang miliarder yang memperoleh kekayaannya di Rusia, ditahan sebelum diadili setidaknya selama empat bulan dan menghadapi hukuman hingga 14 tahun penjara. Penangkapannya tampaknya menunjukkan niat Azerbaijan untuk segera menegakkan cengkeramannya di wilayah tersebut.
Tokoh separatis terkemuka lainnya, mantan menteri luar negeri Nagorno-Karabakh dan sekarang menjadi penasihat presiden David Babayan, mengatakan pada hari Kamis bahwa dia akan menyerah kepada pihak berwenang Azerbaijan yang memerintahkan dia untuk menghadapi penyelidikan di Baku. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...