Loading...
BUDAYA
Penulis: Aninda Cakrawarti 10:31 WIB | Minggu, 14 Juli 2024

70 Tahun Film “Seven Samurai”, Karya Epik Kurosawa Masih Menggetarkan Hati

Foto ini dirilis oleh Janus Film, menunjukkan Toshiro Mifune di sebuah adegan dari film “Seven Samurai” pada tahun 1954. (Foto: dok. Janus Film via AP)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Film “Seven Samurai” karya sutradara Jepang, Akira Kurosawa, merayakan hari jadinya yang ke-70 tahun ini. Terlepas dari umurnya, vitalitas dan gerak-gerik cepat dari karya epik Kurosawa tetap mempesona.

Menontonnya ulang berarti membiarkan diri kita hanyut kembali ke dalam dunia penuh aksi dan impian yang lebih luas, secepat bagaimana Kambei Shimada (diperankan Takeshi Shimura), sang pemimpin ketujuh samurai, berlari ke sana dan kemari di dalam pertarungan yang sengit. Ia terbang melewati sawah dan menyusuri jalan setapak dari kayu. Kamera Kurosawa tidak mengantisipasi ke mana aksi tersebut akan berjalan, melainkan mengejarnya.

Bagi para penggemarnya, “Seven Samurai” telah menjadi suatu pencapaian. Bukan karena film karya Kurosawa ini sulit dipahami—film  ini cukup singkat, jelas, dan padat dalam menceritakan kisahnya. Namun misteri di dalamnya tersimpan rapi sebagai momen paling luar biasa yang sangat tidak terduga.

“Seven Samurai”, berkisah kepahlawanan berdurasi 207 menit tentang sekelompok petani di abad ke-16 yang bergabung menjadi sekelompok samurai untuk membela diri dari para perampok, terasa seperti selalu ada di antara kita. Film ini begitu tertanam di benak para penikmat film, sehingga menjadikannya salah satu film yang selalu masuk ke dalam daftar rekomendasi bagi para pemula yang ingin menyelam ke dunia perfilman.

Dalam hasil pemungutan suara para kritikus dan pembuat film di Sight and Sound setiap dekadenya, peringkatnya sedikit menurun, tetapi tidak secara drastis. Di 2022, ia menduduki peringkat ke-20 berdampingan dengan “Apocalypse Now”, hasilkarya Francis Ford Coppola, yang saat ini menjadi asisten Kurosawa yang paling setia.

Coppola dan orang-orang semasanya seperti Martin Scorsese dan George Lucas sangat mengagumi Kurosawa. Scorsese pernah menggambarkannya sebagai ‘kejutan pada tingkat penguasaan itu’ ketika ia menjumpai  film karya Kurosawa sekitar tahun 1950-an. Generasi pembuat film berikutnya juga memiliki reaksi yang sama. Alexander Payne menyebut “Seven Samurai” sebagai kilat petir yang mengubah hidupnya. Setelah menontonnya sewaktu masih muda, ia mengatakan pada dirinya sendiri: ‘Aku tidak akan bisa mendaki gunung setinggi itu, tetapi aku ingin berada di gunung itu.’

“Belum ada yang bisa menyainginya,” tulis kritikus Pauline Kael beberapa tahun yang lalu—sebuah penilaian yang masih valid hingga saat ini.

Musim panas ini akan menjadi hari jadi ke-70 dari film yang rilis di 1954 itu. “Seven Samurai” dengan rekamannya yang telah diperbaharui ditayangkan di bioskop mulai hari Rabu di New York dan menuju kota lainnya pada 12 Juli. Ini adalah kesempatan untuk melihat secara langsung karya klasik ini dalam kemegahannya di layar lebar.

Kekaguman atas “Seven Samuai”, tentunya, bukanlah hal yang belaku pada setiap orang. Beberapa kritikus lebih menyukai Ozu atau Mizoguchi. Daya tarik Kurosawa di negara barat selalu ada karena dia sendiri sangat tertarik dengan film Hollywood.

Kurosawa membuat “Seven Samurai” setelah karyanya yang berjudul “Rashomon” (1950) dan “Ikiru” (1952), yang terpengaruh oleh film-film karya John Ford. Masyarakat negara barat, sebagai gantinya, meniru mahakarya Kurosawa, dimulai dengan pembuatan ulang oleh John Sturges tahun 1960 berjudul “The Magnificent Seven”, sebuah film yang mengambil judul Amerika dari rilisan awal ”Seven Samurai” di Amerika Serikat, di mana Toho Studios memotong 50 menit durasinya.

Pengaruh jangka Panjang dari “Seven Samurai” dapat dilihat di mana saja, seperti model transisi bergeser ke samping dari film “Star Wars” dan “A Bug’s Life.” Dan, mengingat banyaknya film yang sejak itu mengambil pendekatan dangkal terhadap narasi “sekelompokpahlawan”, beberapa pandangan pesimis terhadap “Seven Samurai” mulai menyesalinya sebagai pelopor film-film beranggaran besar yang menjadi tontonan pada saat ini. Dengan proses rekaman selama 148 hari dalam satu tahun, “Seven Samurai” pada saat itu merupakan film Jepang paling mahal yang pernah dibuat, dan salah satu yang paling populer di layar lebar.

Tetapi “Seven Samurai” tidak perlu bertanggungjawab atas para penirunya yang gagal. Menyaksikan ulang mahakarya Kurosawa tetap mengejutkan karena mahakarya tersebut tetap berada di kelasnya tersendiri. Para penonton dapat menunjuk pada elemen tertentu—koreografinya, adegan di tengah hujan, dan Toshiro Mifune—atau bahkan lebih dalam lagi dari bagian-bagiannya.

Ketika Kurosawa memutuskan untuk membuat film Samurai pertamanya, Jepang baru saja bangkit dari pendudukan Amerika pasca perang. Film samurai pada masa itus empat terbengkalai dan “Seven Samurai” membantu memulihkan keberadaannya.

Tetapi film Kurosawa, yang ditulis oleh dirinya sendiri dengan bantuan Shinobu Hashimoto dan Hideo Oguni, setelah proses riset yang panjang, menyulap tema individualism dan pengorbanan menjadi kebaikan bersama yang meluas di Jepang pasca perang.

Meski begitu, “Seven Samurai” lebih tepat disebut film mitologi daripada legenda lokal. Pertarungan pamungkasnya tidak berada di antara para warga yang dibantu oleh samurai dan para perampok, tetapi berada di ketegangan antara para samurai dengan warga lokal, yang menyembunyikan para kaum perempuan dari para prajurit bayangan dan pada akhirnya merayakan kemenangan yang berbeda dari kemenangan para samurai.

“Pada akhirnya, kita tetap kalah dalam pertarungan ini,” kata seorang samurai yang selamat.

“Seven Samurai”, yang menyatukan kisah penuh harapan dan juga tragis, tidak sepenuhnya bercerita tentang pertarungan antara yang baik dan yang jahat, melainkan tentang kebenaran seorang prajurit yang tak lekang oleh waktu.

Para samurai tidak kembali ke kehidupan sehari-hari mereka seperti para warga. Dan bagi mereka yang binasa dalam genangan lumpur—sebuah momen yang membuat Kurosawa berhenti sejenak untuk merasakan lebih dalam, dan bagian yang kemudian diadopsi oleh Michael Mann dalam kematian di film “Heat”—membuktikan bahwa takdir sangatlah kejam. Dalam film seperti ini, momen penuh keheningan justru menjadi adegan yang paling membekas. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home