Bintang Teater Kabuki Jepang Dapat Berganti Peran Dalam Sekejap di Atas Panggung
Dia dapat berganti 13 peran dalam satu pementasan. Di balik layar untuk menjadi bintang Kabuki terbesar butuh puluhan tahun.
TOKYO, SATUHARAPAN.COM-Di atas panggung, Danjuro Ichikawa, salah satu bintang terkenal di teater Kabuki Jepang, adalah ahli dalam pergantian peran.
Dalam karya terakhirnya, ia memainkan 13 peran, termasuk seorang putri kerajaan, juru masak sushi, dan seekor rubah. Ia berjalan tertatih-tatih keluar panggung sebagai orang tua renta, lalu berlari masuk kembali sebagai pendekar. Ia terlibat dalam beberapa perang, meninggal secara tragis berkali-kali, kemudian melesat terbang dengan bantuan kabel.
Di balik layar, ia bertanya-tanya apakah sudah waktunya bagi peran bintang Kabuki yang kaku itu untuk berubah.
Orang ke-13 untuk menyandang nama Danjuro Ichikawa—yang sudah diturunkan dalam beberapa generasi bintang Kabuki selama lebih dari 300 tahun—telah menjadi nama yang terkenal di Jepang, muncul di iklan, film, dan acara televisi.
Kabuki, sebuah tradisi yang diperankan hanya oleh laki-laki, mengkombinasikan musik, tari, dan akrobatik, dan masih populer hingga saat ini. Tetapi Danjuro merasa bahwa tradisi ini bisa tersingkir oleh selera kesenian yang lebih modern. Penonton yang sudah terbiasa dengan video TikTok dan siaran langsung tidak selalu memiliki kesabaran untuk menonton penampilan formal Jepang kuno yang berdurasi empat jam. Kebijakan menjaga jarak selama pandemi juga menyulitkan teater, dan penonton masih terus berdatangan.
Danjuro telah berusaha untuk memperbarui Kabuki di ‘Hoshiware Jusandan’, di sebuah teater Kabuki di Tokyo pada 24 Juli, dengan memotong beberapa adegan yang terlalu panjang dan menyesuaikan beberapa dialog dengan masa kini.
“Budaya tradisional mungkin cukup sulit untuk dipahami dan melelahkan untuk penonton, tetapi saya harap penonton dapat menikmatinya. Setiap aksi dilakukan secara cepat karena saya hanya seorang diri memainkan 13 peran,” kata Danjuro pada The Associated Press.
Dengan penampilan rapi dan kulit sawo matangnya, Danjuro yang berumur 46 tahun terlihat begitu lucu untuk seorang artis terkenal. Di tengah diskusi tentang masa depan dari penampilan secara langsung, ia beberapa kali bergaya untuk difoto, dengan gaya-gaya yang hanya bisa Anda lihat dilakukan oleh pemeran utama laki-laki di buku komik.
Budaya teater yang hanya diperankan oleh laki-laki bisa menjadi sangat konservatif, mempertahankan banyak tradisinya yang hampir tidak berubah dari zaman Edo.
Danjuro yang ada saat ini mendapatkan nama tersebut di 2022, setelah melewati nama-nama sebelumnya yang ia dan para Danjuro sebelumnya lewati sebelum menjadi Danjuro seperti Shinnosuke, kemudian Ebizo.
Pelatihan dilakukan sejak masa kanak-kanak. Ketika ia berumur 20 tahun, sebelum ia naik ke atas panggung untuk pertama kalinya sebagai biksu Benkei—sebuah peran yang telah dipopulerkan lebih dulu oleh ayahnya, kakeknya, dan para Danjuro sebelumnya—tekanannya begitu besar sampai ia kabur dan menghabiskan waktu semalaman tidur di taman. Tetapi ia kembali tepat waktu untuk tetap tampil hari itu.
Danjuro yang ada saat ini diturunkan oleh ayahnya, Danjuro XII, yang meninggal di 2013 pada umur ke-66 karena leukimia.
Kepergiannya membuatnya kehilangan seorang ayah tersayang dan juga guru yang sangat ia butuhkan. Di umur ke-35, ia masih dianggap pemula untuk standar Kabuki, suatu bentuk seni di mana gadis-gadis cantik sering diperankan oleh para maestro yang berusia delapan puluhan.
Dia harus beralih ke paman dan veteran dari keluarga lain untuk mempelajari seni tersebut, menentang kritik dari sekitarnya atau bahkan keluarga yang mengatakan bahwa hanya seorang Danjuro yang dapat mengajar Danjuro lainnya.
Tetapi saat ini para kritikus mengklaim bahwa Danjuro ke-13 telah memenuhi perannya dengan sangat baik.
Meskipun seni memiliki komitmen yang kuat terhadap tradisi, kata Danjuro, cerita Kabuki meliputi emosi yang secara keseluruhan dapat dipahami sekalipun oleh pemuda-pemudi maupun orang luar negeri yang masih asing dengan genre ini.
Di “Hoshiawase Jusandan,” ia memerankan seekor rubah yang menyamar sebagai seorang pendekar untuk menguntit seorang penari istana yang membawa sebuah gendang yang terbuat dari kulit orangtuanya.
Pada puncak cerita, samurai yang pemaaf memberikan sang rubah gendang tersebut, kemudian Danjuro melesat ke atas kabel, melompat-lompat dengan bahagia di atas para penonton menuju bangku penonton di balkon lantai 3, ditemani tabuhan gendang, seruling, dan iringan musik.
Efek yang mencolok dan agak ketinggalan zaman itu mungkin terlihat seperti suatu pertunjukan sirkus, tetapi ia menjual adegan mengharukan yang membandingkan kebodohan manusia dalam perang serta balas dendam dengan cinta sederhana yang ditunjukkan oleh seekor binatang.
Dalam segala kekhawatirannya, Danjuro mengatakan ia percaya bahwa kekuatan pertunjukan ini dapat bertahan.
Ia kini melatih anaknya, Shinnosuke, untuk menggantikannya, dan menjaga kesehatannya untuk memastikan generasi Shinnosuke yang akan datang untuk mengenal kakek moyangnya. Suatu hari nanti, Shinnosuke akan menjadi Ebizo, dan kemudian ia akan menjadi Danjuro XIV.
“Ada yang harus tetap bertahan hidup,” kata Danjuro. “Dan itu tanggungjawab saya.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...