95% Sarjana Arab di Luar Negeri Tidak Pulang
DUBAI, SATUHARAPAN.COM – Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa hampir 95 persen mahasiswa dari negara-negara Arab yang belajar di luar negeri tidak memilih untuk kembali ke negara asal mereka setelah lulus.
Masalah ini menjadi fokus dalam diskusi panel World Government Summit (WGS) in Dubai, seperti dikutip Al Arabiya, Rabu (10/2).
Menurut Mohammad Gawdat, Wakil Presiden Inovasi Bisnis di Google (X), ‘’perginya pasa sarjana ke luar’’ Arab adalah akibat dari dua faktor utama: kurangnya sumber daya dan ketidakstabilan di wilayah tersebut.
"Ini bukan tentang uang. Ini adalah tentang mengambil keputusan yang tepat yang memungkinkan orang muda untuk berhasil. Setelah keputusan diambil, kami dapat menyediakan sumber daya," katanya.
Gawdat yang berpartisipasi dalam Diskusi Panel ‘’Brain Re-Gain’’ mengatakan bahwa brain drain bisa menjadi positif, sebagai orang-orang yang berhijrah dari Arab untuk mengembangkan keterampilan dan pengalaman dapat berguna bagi negara asal mereka.
"Masalah kita adalah bahwa kita tidak menarik orang-orang ini kembali ke dunia Arab," kata Gawdat. Dia menyebut pengalaman Tiongkok dalam menarik kembali para sarjana di luar negeri. "Mereka yang beremigrasi pulang setelah mendapatkan keterampilan dan pengalaman di luar negeri. Memanfaatkan untuk pembangunan Tiongkok. Ini tidak terjadi di dunia Arab. Pemerintah Arab perlu menciptakan lingkungan yang menarik agar orang-orang itu kembali."
Gawdat berbicara dalam panel bersama Profesor Hashim Sarkis, Dekan Sekolah Arsitektur dan Perencanaan di MIT, dan Dr. Fadlo Khuri, Presiden American University di Beirut.
Khuri mengatakan hal itu penting bagi pemerintah negara-negara Arab untuk melibatkan orang-orang muda dalam proses pembangunan. Dia menyoroti Marshall Plan yang dilakukan Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II untuk membangun kembali Eropa.
Menurut Khuri, pemerintah Arab memerlukan rencana yang sama untuk jangka panjang dengan melibatkan orang-orang muda dalam pengembangan dan rekonstruksi dunia Arab.
"Untuk memastikan pembangunan, kita perlu orang-orang muda terlibat dengan masyarakat. Sayangnya, pemerintah Arab tidak mengizinkan pria dan perempuan muda berperan dalam pemerintahan dan proses pembangunan,"kata Khuri.
Konferensi Tingkat Tinggi Pemerintahan diselenggarakan dengan melibatkan 3.000 peserta dari 125 negara. KTT untuk mengeksplorasi lebih dari 70 topik melalui pembicara dan sesi interaktif besar, melibatkan para pemimpin dunia, menteri, pengambil keputusan, CEO, inovator, pejabat, pakar, pengusaha, akademisi, dan mahasiswa.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...