Loading...
DUNIA
Penulis: Prasasta Widiadi 10:51 WIB | Kamis, 15 Oktober 2015

Abe Ajak RRT Tatap Masa Depan Demi Kemajuan Kawasan

Penasehat Negara Tiongkok, Yang Jiechi (kiri) dan PM Jepang Shinzo Abe (kanan) saat melakukan dialog bilateral di Tokyo, Jepang, pada Rabu (14/10). (Foto: reuters.com)

TOKYO, SATUHARAPAN.COM – Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe mengajak Republik Rakyat Tiongkok (RRT)  menatap masa depan demi kemajuan di berbagai bidang antara Tiongkok dan Jepang, kemajuan tidak hanya untuk kedua negara tetapi untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik.

“Tiongkok dan Jepang harus menjauh dari  fokus berlebihan pada masa lalu, demi kemajuan kawasan,” kata Hiroshige Seko, wakil kepala sekretaris kabinet Jepang beberapa saat setelah Shinzo Abe menerima Penasehat Negara Tiongkok, Yang Jiechi di Tokyo, seperti diberitakan Straits Times, hari Rabu (14/10).

Dalam pertemuan dengan utusan tingkat tinggi Beijing, pejabat senior Jepang tersebut menjelaskan bahwa hubungan kedua negara membaik walau ada konflik dalam kasus UNESCO yang berniat memasukkan  peristiwa Nanjing Massacre sebagai “Sejarah dan Ingatan Budaya dunia.”

Seko menyebut kunjungannya tersebut merupakan salah satu isyarat mencairnya hubungan  antara negara dengan peringkat kedua ekonomi kedua dan ketiga terbesar di dunia meskipun isu ketegangan kawasan masih menyelimuti.

Dalam pertemuan tersebut Abe mengatakan kepada Yang bahwa Jepang memiliki sejarah yang tak tergoyahkan sebagai bangsa cinta damai dan telah belajar pelajaran dari masa lalu.

“Kita harus membangun hubungan masa depan yang berorientasi Jepang-Tiongkok, daripada menjaga fokus yang berlebihan di masa lalu,” kata Seko.

Hubungan antara Jepang dan Tiongkok  dalam beberapa waktu belakangan diwarnai pasang surut, seperti saat Tiongkok melihat Jepang belum memiliki niat serius untuk  menebus kekejaman masa perang Dunia II.

Baru-baru ini hubungan telah membaik, tetapi masih ada perbedaan pandangan  antara kedua negara dalam beberapa kasus tertentu.

Jepang pekan lalu mengecam  keputusan UNESCO (Organisasi Kebudayaan dan Sains milik Perserikatan Bangsa-bangsa) yang menuliskan dokumen yang terkait dengan  Pembantaian Nanjing di Sejarah Warisan Memori Dunia, Jepang menolak usulan UNESCO tersebut karena Jepang mengira itu tidak dari inisiatif UNESCO tetapi dari inisiatif Tiongkok. 

Jepang  mengancam  menarik dana untuk UNESCO, sementara Tiongkok mengkritik kemarahan Jepang dengan menyatakan Jepang tidak bersikap secara dewasa.

Peristiwa Pembantaian Nanjing, juga dikenal sebagai Pemerkosaan Nanjing, adalah sebuah episode dari pembunuhan dan perkosaan massal yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap penduduk Nanjing (ibu kota Tiongkok saat ini, Beijing) selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua.

Pembantaian terjadi selama periode enam minggu mulai sejak tanggal 13 Desember 1937, hari itu Jepang menguasai Nanjing, yang kemudian menjadi ibu kota Tiongkok. 

Selama periode ini, antara 40.000 hingga lebih 300.000 (perkiraan bervariasi) warga sipil Tiongkok dilucuti dan dibunuh oleh Tentara Kekaisaran Jepang.

Abe mengatakan bahwa kedatangan Yang ke karena Jepang dan Tiongkok memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian di kawasan.

Abe saat bertemu Yang juga  menyuarakan keinginannya untuk bertemu dengan para pemimpin Tiongkok di pertemuan-pertemuan internasional, seperti G-20. 

Yang mendukung pandangan Abe pada stabilitas regional di kawasan Asia Timur tersebut, termasuk juga dengan Korea Selatan.  

“Pemerintah Tiongkok memiliki kepentingan menjaga hubungan baik Tiongkok-Jepang dan bersedia  mempertahankan dialog dan kontak dengan Jepang,” kata Yang.

Ketegangan Laut Cina Selatan

Beberapa bulan yang lalu di Forum Dialog Pertahanan Kawasan Asia Pasifik yang berlangsung di Singapura Menteri Pertahanan Jepang, Gen Nakatani memperingatkan Tiongkok yang melakukan reklamasi di kawasan Laut Cina Selatan karena akan menimbulkan kekacauan. Sehingga Tiongkok harus bertanggungjawab.

“Jika kita menyisahkan situasi yang melanggar hukum tanpa pengawasan, sehingga akan berubah menjadi gangguan, perdamaian dan stabilitas akan runtuh," kata Nakatani seperti dikutip Reuters, akhir Mei 2015.

“Saya  mengharapkan semua negara, termasuk Tiongkok, untuk berperilaku sebagai kekuatan yang bertanggung jawab," kata Nakatani.

Ketegangan meningkat di Laut Cina Selatan dalam beberapa bulan terakhir. Ini menyusul keputusan Tiongkok untuk membuat pulau buatan di sana. Padahal kawasan itu masih disengketakan. Kawasan Spratly itu diklaim oleh setengah lusin negara termasuk Filipina, Malaysia, Vietnam dan Tiongkok.

Sebaliknya dalam forum yang sama Deputi Kepala Staf Umum Tiongkok, Jenderal Wang Guanzhong   mengecam pernyataan Perdana Menteri Jepang, Shinzo  Abe dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel karena menganggap mereka telah membuat pidato "provokatif" terkait Tiongkok.

Wang mengatakan komentar Shinzo Abe dan Chuck Hagel di forum Dialog Shangri-La tersebut sebagai hal yang "tidak bisa diterima".

Menteri Pertahanan Amerika Serikat Chuck Hagel mengatakan bahwa Tiongkok "mendestabilisasi" Laut Cina Selatan. Sementara Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan akan memberikan dukungan yang lebih besar kepada negara-negara Asia Tenggara.

Forum yang menyatukan Amerika Serikat dan negara-negara Asia Tenggara tersebut digelar di tengah ketegangan antara Cina, Vietnam dan Filipina. Hubungan Jepang-Tiongkok juga tegang atas sengketa pulau di wilayah Laut Cina Timur. (chinadaily.com.cn/straitstimes.com/bbc.com)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home