Agama dan Masyarakat: Standarisasi dan Syarat Menjadi Pemimpin Umat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Masyarakat Indonesia memiliki harapan yang tinggi terhadap pemuka agamanya, namun ada pula yang sebaliknya terjadi, yakni skandal yang melibatkan pemimpin umat.
Terakhir adalah kasus Ustad Hariri yang dalam sebuah rekaman video tampak memiting petugas sound system menggunakan dengkul, tayangan ini ditonton lebih dari 1,4 juta orang. Sebelumnya ada juga skandal Ustad Solmed yang ramai gara-gara mematok tarif mahal secara sepihak ketika diundang buruh migran Indonesia di Hong Kong, belum lagi deretan panjang kasus-kasus pelecehan seksual di pesantren.
Kejadian-kejadian semacam itu tidak hanya terjadi di agama Islam. Pemimpin umat Kristen dan Pastur Katolik juga ada yang terjerat skandal. Kepolisian baru-baru ini menangkap seorang pendeta berinisial JR karena kasus pembunuhan di Bekasi, Jawa barat. Sementara itu, Mahkamah Agung juga memvonis mati pastur Herman Jumat Masan karena pembunuhan. Permasalahan-permasalahan itu memantik pertanyaan, apa yang salah dengan mutu seorang pemuka agama saat ini?
Tema skandal pemimpin agama dan standarisasi pemuka agama menjdi topik perbincangan Agama dan Masyarakat KBR68H dan TempoTv, Rabu (19/02). Masalah-masalah itu memantik pertanyaan, apa yang salah dengan mutu seorang pemuka agama saat ini? Apakah perlu menerapkan kompetensi minimal atau semacam standarisasi untuk pemuka agama?
Romo Mardiatmadja
Romo Mardiatmadja menjelaskan, di kalangan Katolik, sejarah awal mula munculnya proses pengetatan syarat menjadi pemuka agama muncul pada abad ke-16. Sebelumnya, seseorang akan dengan mudah menjadi pemuka agama Katolik. Akibatnya, banyak pastur berperilaku kasar dan merugikan masyarakat serta gereja.
“Karena itu, pada abad 16 gereja Katolik mendirikan seminari untuk mendidik calon imam,” jelas Romo Mardiatmadja. Kini, untuk menjadi seorang pastur dibutuhkan setidaknya tujuh tahun. Sepanjang periode itu, seorang calon pastur tidak mesti mendalami ilmu agama dan terjun ke masyarakat.
Dengan melalui tahapan-tahapan itu, seorang calon pastur diharap dapat memenuhi sejumlah syarat. Syarat itu terutama adalah kompetensi teknis, organisatoris, intelektual, moral dan iman. Dalam hal keilmuan contohnya, seorang pastur mesti memiliki pemahaman mendalam, memiliki logika yang tepat dan sistematis tentang ajaran agama.
“Kalau tidak ada kompetensi ilmu, seorang pemimpin umat hanyalah omong sembarang omong, celakanya SMS tidak bisa dipakai untuk mengecek keilmuan seseorang,” seloroh pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara tersebut.
Romo Mardiatmadja menjelaskan, kompetensi moral saat ini sangat penting, karena pemimpin berkontak dengan manusia yang bebas, yang tidak bisa diperintah sembarangan, sekalipun dengan orang yang telah seagama.
Pemimpin yang hanya bilang, "pokoknya saya benar, dan kamu harus mengikuti", adalah ungkapan kompetensi moral yang tidak benar. Moralitas, adalah ketika kita menjadi bagian dari suatu komunitas yang memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu yang mencerminkan ukuran etika dan etiket bersama. Dalam katholik, misalnya, perlu berbulan-bulan untuk mendiskusikan apakah seorang pastor harus memakai jubah atau tidak.
Selain kompetensi di atas, Romo menambahkan perlunya kompetensi iman bagi para pemimpin umat. Pemuka umat adalah seseorang yang memiliki iman yang kuat, yang seringkali melengkapi kompetensi yang lain. Semua kompetensi memerlukan pembentukan melalui pelatihan dan pembiasaan yang perlu waktu.
Pemimpin umat instan
Pak Yunahar Ilyas ketika diminta pendapat tentang ustad instan dan melakukan tindakan kekerasan kepada umatnya mengatakan, "Saya kira, tidak hanya kurang patut, tetapi juga tercela, saya miris ketika melihat di Youtube, orang biasa saja, tidak boleh, apalagi Ustad. Ini menunjukkan kesombongan, dan tanggung jawab ustad seharusnya lebih berat," demikian kata pak Yunahar.
Standar ketat seorang pemuka agama juga diterapkan dalam organisasi Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Yunahar Ilyas memaparkan, ustad Muhammadiyah mesti menempuh sejumlah pendidikan.
“Kalau ingin menjadi ustad, istilahnya ya, ia harus punya kompetensi ilmu. Jadi kalau ia tidak berilmu tidak bisa. Kedua, ia harus punya akhlak mulia karena ia tidak hanya mentransfer ilmu, tapi juga nilai dan menjadi contoh dan teladan. Ketiga, ia mempunyai kemampuan metodologis, ketiga kriteria ini, sekarang sering diabaikan,” jelas Yunahar Ilyas yang menjadi narasumber kedua dalam program perbincangan Agama dan Masyarakat tersebut.
Untuk mencapai kriteria seperti yang dikehendaki organisasi Muhammadiyah, ustad mesti memenuhi setidaknya empat tahun. “Empat tahun, tiga tahun di pesantren tiap hari diberi pelajaran bahasa Arab dan fiqih, tafsir hadits, fiqih dan akidah. Lalu diberi pelajaran tentang dakwah, terutama fiqih dakwah. Tiga tahun ilmu dan kepribadian. Satu tahun dibawa ke kampus.
Di Yogya boleh pilih satu Universitas Muhammadiyah untuk mendapat ijazah sarjananya, setelah itu baru dikirim ke daerah dan baru jadi ustad lokal, belum provinsi atau nasional,” katanya merunut asal usul ustad di Muhammadiyah. Dengan begitu, calon ustad setidaknya sudah mengenyam 144 sks.
40 Persen
Meskipun Katolik dan Islam Muhammadiyah memiliki perbedaan, keduanya sepakat bahwa proses seseorang menjadi pemuka agama tidak bisa singkat dan mesti melalui jalan terjal. “Paling banyak 40 persen dari satu angkatan yang berhasil menjadi pastur,” kata Romo Mardiatmadja untuk menggambarkan betapa beratnya jalan yang mesti ditempuh.
Kedua tokoh yang berasal dari agama berbeda itu juga sepakat audisi ustad melalui sms tidak akan menghasilkan tokoh agama yang bermutu. Ustad Hariri yang mendapat kecaman keras karena arogansinya merupakan lulusan audisi ustad televisi.
Yunahar Ilyas mengaku sangat terkejut membaca syarat audisi ustad di media televisi. “Pertama, kriterianya yang berwajah unik. Kedua, yang lucu. Ketiga, yang tampan,” katanya dengan nada sinis. Akibatnya, ustad-ustad itu tidak mempunyai ketiga kriteria yang disyaratkan organisasi Muhammadiyah untuk menjadi ustad.
Dia mencontohkan, dangkalnya pengetahuan ustad tanpa standarisasi ini ketika kelimpungan menjawab pertanyaan penonton yang spontan. “Saya pernah menonton, ketika ia menerangkan ayat kursi, pertanyaan di luar skenario, ayat kursi ini Makiah atau Madaniah. Karena ayat kursi masuk dalam surat al-Baqarah dan ayatnya panjang-panjang makiah. Itu terbalik, harusnya Madaniah. Yang dengar satupun tidak bisa mengkoreksi, dan tidak ada nomor yang bisa saya telp untuk mengkoreksi,” tutur dia.
Produk Instan
Yunahar melanjutkan cerita pengamatan dari televisi, "ketika ada pertanyaan, 'Ustad, bagaimana hukumnya jabat tangan laki-laki yang bukan muhrim? Tanya penonton. 'Boleh, yang penting niatnya,' jawab sang ustad. Bagaimana kalau berciuman, kalau niatnya baik?". Menurut pengamatan Yunahar, akibatnya sang ustad produk instan tersebut bingung.
Meskipun Islam di Indonesia tampak bebas dan lebih leluasa dalam menerapkan Islam, tidak berarti campur tangan negara niscaya menuntaskan segalanya. Yunahar Ilyas mencontohkan, di Malaysia dan Brunei, ada standardisasi ustad. Contohnya, khotbah Jumat mensyaratkan pendakwanya memiliki semacam sertifikat. Akibatnya, tidak semua orang bisa menjadi ustad.
Namun Yunahar memperingatkan, campur tangan negara itu mengakibatkan keseragaman pandangan Islam. Akibatnya, negara bisa dengan gampang menggunakan agama untuk alat kekuasaan. Ini, tidak terjadi di Indonesia.
Umat Mengkritisi Pemimpin
Peran masyarakat dinilai merupakan ujung tombak dalam menjaga standar kompetensi seorang pemuka agama. “Di Katolik, uskup selalu tanya pada jemaat, apakah ada yang keberatan jika seorang calon menjadi pastur,” ujar Romo Mardiatmadja. Dengan begitu, jemaat berhak menyanggah jika menemukan seseorang tidak layak menjadi pastur.
Seorang pastur memerlukan kesaksian umat dalam persiapannya sebelum ditahbiskan, dan ada pembimbing iman yang senantiasa mempertanyakan tanggung jawab pekerjaan dan kehidupan seorang pastor, demikian Romo Mardi menceritakan juga dirinya pun harus melapor kepada pimpinannya, sekalipun lebih muda darinya.
Di kalangan Muhammadiyah, masyarakat juga dapat memberi sanksi pada ustad jika ketahuan berbuat tidak patut. Ustad itu akan hilang begitu saja. Yunahar mengatakan, ustad itu tidak akan diundang lagi dan tidak diminta masuk dalam organisasi.
Sanksi moral ini menurutnya efektif dalam menjatuhkan sanksi pada ustad. Ia menambahkan, dalam ajaran Islam, mengkritik ustad bukanlah suatu dosa. “Islam izinkan kita kritis pada siapa saja, kecuali Allah dan Muhammad,” kata Yunahar.
Di akhir perbincangan Romo membenarkan perlunya umat dan masyarkat mengontrol dan bersikap kritis terharap pemuka agama, namum Romo menambahkan hal yang tak kalah penting, yakni, para pemuka iman itu sendiri yang harus kerap berefleksi tentang apa sudah dikatakan, yang dilakukan dan apa yang sebenarnya dihayati sebagai seorang pelayan umat. (portalkbr.com)
Editor : Sabar Subekti
OpenAI Luncurkan Model Terbaru o3
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Dalam rangkaian pengumuman 12 hari OpenAI, perusahaan teknologi kecerdasan...