Agama: Mencerdaskan atau Membodohkan?
SATUHARAPAN.COM – Di Indonesia tidak pernah terdengar seseorang menyatakan secara terbuka dan resmi bahwa ia tidak beragama, apalagi menggunakan istilah “ateis”. Setiap orang dewasa yang sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk–KTP, jelas tampak beragama. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu khususnya menyangkut penganut agama suku dan kebatinan, karena agama yang dianutnya tidak diberi peluang, ada yang tidak mengisi kolom agama pada KTP-nya. Namun itu tidak berarti bahwa orang yang bersangkutan tidak beragama. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, agama menjadi hal yang sangat penting. Pengutamaan agama sebagai status yang melengkapi informasi kewarganegaraan seorang tentu didasarkan pada pemahaman bahwa agama memiliki peranan atau pengaruh pada manusia dan atau masyarakat.
Pengaruh Positif-Negatif Agama
Jika agama diajarkan secara tepat dan sesuai akal sehat maka ia memenuhi fungsinya sebagaimana mestinya. Agama menjadi pemberi dan sarana pemenuhan kebutuhan manusia di bidang spiritual atau rohani dan etis-moral bagi diri seseorang dan suatu kelompok dalam masyarakat. Dengan begitu seseorang yang menganut agama akan hidup menurut syarat-syarat kebaikan yang rasional dan universal dari agama itu. Nilai-nilai yang dianut dan praktik hidupnya berlangsung wajar atau dapat diterima akal sehat; tidak menimbulkan persoalan atau konflik internal kelompok dan dengan orang lain yang menimbulkan kesan dan penilaian buruk.
Cara hidup dan etos kerja yang dilakukan dan dihasilkan seseorang atau kelompok orang yang menganut agama adalah baik dan bermutu. Ini berarti bahwa perilaku orang beragama itu dapat menyebabkan dirinya dan masyarakat berkembang dan maju dalam berbagai aspek kehidupan yang memakmurkan dan menyejahterakan. Ini misalnya yang dibuktikan dan disimpulkan oleh Max Weber bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat Eropa disebabkan salah satunya oleh etika Protestantisme atau ajaran dan praktik gereja Protestant. Keluar dari ajaran dan praktik Katolisisme yang baku, kaku dan absolut di abad 16-17 Masehi, Protestantisme menginspirasi pola pikir yang kritis dan gaya hidup yang wajar manusiawi dengan kemudian mengembangkan budaya dan etos kerja yang progresif dan produktif. Di sini agama-Protestantisme mendukung rasionalisme dan mengutamakan kehidupan beragama yang sesuai akal sehat. Misalnya dengan penekanan pada ajaran yang moderat atau menghindarkan pemutlakan ajaran dan praktik hidup keagamaan umat. Inilah model pengajaran agama yang mencerdaskan yang kemudian menghasilkan kemajuan peradaban dan kesejahteraan.
Pengajaran agama menjadi sebuah pembodohan umat jika penekanannya diletakkan pada hal-hal simbolis dan formalistik. Apalagi ini lalu diwajibkan secara mutlak. Pengajaran ini seperti kewajiban berdoa, beribadah dan cara melaksanakannya atau ritualisme-absolut, dan menerapkan berbagai pantangan seperti makanan dan gaya berpakaian, lalu mengajarkan bahwa hal itulah yang benar dan terbaik karena sesuai kehendak atau hukum Tuhan dan dijadikan ukuran bagi kesalehan seseorang atau suatu kelompok serta masyarakat. Contoh lain adalah menjadikan seseorang sebagai makhluk suci atau kudus sehingga terjadi pengkultusan. Karena itu, apa pun yang dikatakan dan dilakukan tokoh tersebut dianggap benar atau tidak mungkin salah, karena itu diterima dan bahkan mewajibkan penyembahan terhadapnya. Ini terjadi misalnya pada kelompok-kelompok spiritual atau kult tertentu. Misalnya, di Amerika Serikat, ada seorang pastor yang mengawini lima belas perempuan dan hidup bersama namun diterima.
Ajaran yang membodohkan juga adalah mengakui suatu tempat atau gedung tertentu sebagai tempat suci dengan ajaran bahwa Sang Ilahi atau Tuhan berdiam di situ, dan karena itu penganutnya wajib melakukan ziarah dan beribadah di tempat itu. Atau, bahwa di tempat itulah mereka dapat bertemu Tuhan. Demikian juga pengajaran bahwa tindakan kekerasan terhadap anggota atau penganut agama itu sebagai penghukuman dari Tuhan atas dosa atau kesalahan yang dilakukan. Contoh yang mencolok adalah ajaran yang mendukung sikap antipati, ingin bersaing, sinis, menjelekkan-menjatuhkan, memusuhi bahkan bersedia melakukan kekerasan terhadap atau berperang melawan orang atau pihak lain karena berbeda ajaran dan atau agama. Ini yang membuat umat agama ini sangat mudah untuk terlibat konflik dan kerusuhan.
Pengutamaan pada hal-hal simbolik dan formal dan yang kurang pantas secara rasional-moralitas-etis universal merupakan bentuk pembodohan terhadap umat beragama dan bahkan menjadi perusak citra agama itu sendiri. Di tempat-tempat tertentu di mana satu agama dianut oleh sebagian besar masyarakat–dan pemerintah, simbolisme-formalisme absolut agama itu dilaksanakan secara komunal dan bahkan sosial-kenegaraan. Masyarakat dan negara memberlakukan ajaran-ajaran agama tersebut dengan mengabaikan kepentingan umat agama lain. Di sini agama lalu menjadi suatu kekuatan yang didukung oleh “palu” hukum dan “pedang” kekuasaan-negara. Pertanyaannya adalah: bagaimana dengan pemeluk ajaran atau aliran dan agama lain? Cukup sering, kebijakan dan perlakuan terhadap mereka adalah diskriminatif. Diskriminasi tentu tidak sesuai dengan ajaran moral-etis agama. Pemerintah atau negara yang diskriminatif tentu menyalahi esensi dan fungsinya. Di sini, negara menjadi pihak yang ikut dalam pembodohan umat agama dan sekaligus merusak kehidupan beragama.
Bagaimana Seharusnya?
Agama yang mencerdaskan melalui pengajaran yang dilakukan para pemimpin dan tokoh-nya mengutamakan spiritualitas dan etika-moral personal dan komunal-sosial yang membawa damai sejahtera dan kemakmuran. Untuk ini, perlu penekanan pada kehidupan beragama yang rasional- manusiawi. Di sisi umat, perlu ada kemampuan kritis terhadap berbagai ajaran agama yang diterima. Pengetahuan dan wawasan keagamaan dan juga sosial kenegaraan perlu dimiliki. Dalam hal ini pendidikan adalah penting. Di pihak lain, masyarakat dan negara melalui hukum dan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan birokratis dan politis perlu menghindari keterlibatan atau campur-tangan yang mutlak dan berlebihan dalam kehidupan beragama warga negara. Demikian juga diskriminasi dan keberpihakan sangat perlu dikikis habis.
Tiga pihak, yaitu pemimpin agama, umat dan pemerintah memainkan peran yang utama dan mutlak dalam menentukan apakah sebuah agama atau ajaran-ajarannya dapat mencerdaskan atau membodohkan. Semoga, jalan yang baik yang mencerdaskan bagi kehidupan umat manusia menjadi pilihan.
Stanley R. Rambitan, Teolog/Gereja Kristen Jawa dan Dosen Pascasarjana UKI
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...