Ahli Gizi Kembangkan Bahan Pangan Tanaman Liar di Madura
SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – The Economist Intelligence Unit (EIU) telah merilis Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index atau GFSI) Juni 2016. Indonesia menduduki peringkat ke 71 dan dinilai rentan akan kerawanan pangan menurut World Food Programme.
Walaupun demikian, ahli gizi pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Annis Catur Adi, berpendapat bahwa masalah ketahanan pangan bisa diatasi. Salah satunya dengan memanfaatkan bahan pangan berupa tanaman liar dan hewan.
“Menurut FAO (Food Agricultural Organization), pangan liar merupakan sumber vitamin, mineral dan zat gizi lain yang penting, yang dapat melengkapi makanan pokok kelompok rawan gizi, seperti anak-anak dan orang tua,” kata Annis, yang dilansir situs dikti.go.id, hari Selasa (6/6).
Bukan tanpa alasan pernyataan Organisasi Pangan Dunia diamini oleh Annis. Sebab, bahan pangan liar bisa dengan mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Pernyataan Annis itu didasarkan pada hasil riset yang ia lakukan bersama timnya pada tahun 2014. Annis mengambil data tersebut di wilayah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Di Kecamatan Blega, Bangkalan, Annis setidaknya menemukan 37 jenis bahan pangan dari tanaman liar. Rinciannya adalah 16 spesies pada kelompok sayur-sayuran, 14 pada kelompok buah-buahan, dan tujuh pada kelompok umbi-umbian.
Pada kelompok sayur-sayuran, di antaranya ada sayuran kecipir, blunthas, daun katuk, bayam alas, bletah, blincong, dan sembukan. Pada kelompok buah-buahan, di antaranya ada rambusa, mundu, kelapa, sirsak, bengkuang, dan sanek. Sedangkan, pada kelompok umbi-umbian, di antaranya ada gadung, sobeg, talas, obih, jarud, kaburan, dan larbe.
Keuntungannya, masyarakat tak perlu khawatir dengan ketersediaan bahan pangan dari tanaman liar ini. Memang, tak semua jenis tanaman liar selalu tersedia sepanjang tahun. Ada beberapa spesies tanaman yang selalu tumbuh sepanjang tahun, ada yang hanya tergantung musim kemarau dan hujan.
Namun, masa tumbuhnya tanaman liar tersebut saling melengkapi. Sehingga, masyarakat bisa terus mencukupi kebutuhan dapurnya selama waktu.
Contohnya, pada kelompok sayur-sayuran. Tanaman bayam alas, bligo (kondur), sembukan, dan rakarah, tidak tumbuh pada musim kemarau. Tetapi, ada tumbuhan kecipir, klandingan (petai cina), blunthas, daun katuk, dan daun meronggi (kelor) yang tumbuh sepanjang tahun.
Berbeda lagi dengan kelompok buah-buahan. Buah kenitu (sawo duren), mengkudu, sirsak, bengkuang, tidak akan bisa diharapkan tumbuh pada musim hujan. Namun, masyarakat masih bisa mengkonsumsi buah srikaya, kedondong, rambusa, dan pisang pada musim hujan.
“Kami membuat kalender musiman tanaman pangan liar. Harapannya, masyarakat bisa memiliki alternatif dan memanfaatkan tanaman pangan liar sehingga tidak khawatir kehabisan karena selama ini, mereka hanya bergantung pada bahan-bahan makanan yang dijual,” kata dosen Program Studi S-1 Ilmu Gizi itu.
“Kami ingin menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa ada banyak bahan pangan yang ada di sekitar kita yang bisa dimanfaatkan tanpa harus membeli,” katanya.
Bahan pangan dari tanaman liar ini memiliki kandungan gizi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, daun, tunas, buah, umbi dari ketiga kelompok sayur-sayuran itu mengandung zat gizi atau bioaktif, yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Pada jenis umbi-umbian liar, masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai makanan pelengkap pokok yang menyumbang zat-zat makro, terutama potensi sumber energi dan karbohidrat yang cukup besar setelah beras.
Annis mengakui, kandungan gizi pangan liar belum banyak yang terdokumentasikan. Oleh karena itu, melalui penelitian yang ia lakukan selama dua tahun ini, ia melakukan eksplorasi informasi dengan melibatkan masyarakat setempat, dinas terkait, dan kelompok tani.
Setelah dokumentasi kandungan gizi terkumpul, pihaknya memilah mana pangan liar yang ‘layak’ untuk lebih diangkat dan dikenalkan kepada masyarakat. Sebelum itu, ia juga membuat olahan-olahan dari tanaman liar sesuai selera masyarakat. Misalnya, membuat mi berbumbu dan kue kering berbahan daun kelor. Tujuannya, tak lain untuk membuat masyarakat tertarik memanfaatkan bahan pangan liar di kehidupan sehari-hari.
“Kami pilih mana yang lebih potensial dari unsur gizinya, bioaktifnya dan kemudahan pengolahan, dan mana yang berpotensi untuk dibudidayakan secara massal. Dari umbi, contohnya suweg dan kentang hitam. Dari daun-daunan ada kelor. Perbedaan umbi kentang hitam dan suweg dengan pangan berbeda antara kentang hitam dan kentang biasa, namun dari sisi bioaktif kentang hitam lebih tinggi,” kata Annis.
Saat ini, penulis penelitian berjudul Underutilized Food Plants in Food Insecure Area of Bangkalan District and the Potential Role of Local Religious Leader for Promoting the Consumption itu dan timnya berupaya merealisasikan impiannya untuk menjadikan bahan pangan liar sebagai bahan pangan utama, khususnya di daerah rawan pangan.
Editor : Melki Pangaribuan
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...