Ahok dan Kantung Ajaib Doraemon
Kontroversi pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu telah menimbulkan perpecahan dan pertarungan tafsir ayat-ayat Kitab Suci yang tak kunjung selesai. Mengapa orang tidak melihat prestasinya, ketimbang terus menerus meributkan soal tafsir?
SATUHARAPAN.COM - Sekitar sebulan terakhir, kita disuguhi oleh perdebatan yang seakan tak berujung atas apa yang telah diucapkan Ahok di Kepulauan Seribu. Perdebatan yang bahkan sudah mengganggu komunikasi sosial setiap anak bangsa.
Bayangkan, hubungan pertemanan yang baik harus terganggu karena kasus ini. Beberapa group di media sosial mencatat beberapa anggotanya memilih untuk keluar dari group hanya karena mereka berbeda pendapat dengan anggota group lainnya terkait polemik Ahok. Bahkan ada group WA yang akhirnya dihapus hanya karena perdebatan panjang yang melelahkan ini.
Peristiwa Ahok di Kepulauan Seribu dengan Al Maidah 51-nya itu telah mengarahkan telunjuk kemarahan (sebagian) umat Islam tepat pada jidat Ahok. Sasaran tembak jelas, Ahok, karena telah menistakan agama Islam dan ulama. Pada titik ini, beragam kemarahan muncrat, mulai dari hendak memotong kaki dan tangan serta mengusirnya dari Indonesia, hingga sayembara berhadiah 1 M rupiah bagi mereka yang berhasil menyembelih Ahok.
Betapa miris menyaksikan semua ungkapan kemarahan yang diucapkan itu ketika mereka mengenakan simbol-simbol agama Islam yang selalu diklaim teduh dan damai ini. Betapa menakutkannya melihat luapan kemarahan itu yang disampaikan sambil bertakbir. Kalimat Allah Akbar telah berubah menjadi suara yang paling mengerikan dengan kasus ini.
Puncaknya, 4 November 2016 lalu, ratusan ribu kelompok Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) melakukan aksi demonstrasi dengan mendatangi istana Presiden. Tuntutannya adalah Ahok segera ditangkap dan diadili. Imbasnya, di beberapa lokasi kampanye, Ahok tidak saja ditolak, melainkan juga sempat diusir bahkan dikejar oleh massa yang membencinya.
Ahok Sebagai Arena Pertarungan Ahli
Peristiwa Ahok di Kepulauan Seribu sungguh telah membawa keterpecahan ummat Islam dan juga para ulama. Keterpecahan ini juga telah melibatkan para ahli, mulai dari ahli linguistik hingga ahli hukum pidana dan juga akademisi. Banyak yang menghujat Ahok, tapi tidak sedikit yang membela dirinya.
Para politisi pun tidak tinggal diam, masuk dalam barisan yang sekiranya menguntungkan posisi politis mereka. Bagi politisi yang menganggap bahwa peristiwa ini akan menjatuhkan elektabilitas partainya, maka tiarap sambil menanti tiupan arah angin untuk bangkit mengambil alih kembali keuntungan adalah pilihan yang rasional yang mereka tempuh saat ini.
Lihatlah, tidak ada satu pun parpol pengusung Ahok yang mendukung dirinya, minimal membantu mendinginkan situasi agar keterpecahan sosial bangsa ini dan kemarahan kepada Ahok tidak semakin menguat. Salah satu parpol pengusung bahkan tegas menyebutkan akan kembali mengevaluasi dukungannya kepada Ahok.
Catatan ini tidak dimaksudkan untuk semakin memperuncing persoalan, apalagi larut dalam permusuhan atau bahkan mendahului aparat kepolisian dalam mengusutnya secara tuntas. Catatan ini lebih fokus untuk melihat keterpecahan ulama dan umat serta ancaman keterpurukan bangsa.
Bahwa dari peristiwa ini, satu hal yang terlihat adalah setiap ‘ahli’ tafsir kini berdiri keukeuh dengan kebenaran tafsir yang dipahaminya. Semuanya telah menjadikan Ahok sebagai arena pertarungan tafsir ayat Al Quran tanpa ada sedikit pun upaya untuk duduk bersama mencari titik bersama untuk kebaikan bangsa. Para ahli lain pun tidak ketinggalan.
Sungguh sedih melihat perilaku para pimpinan umat yang kini terpecah belah. Dan saya semakin sedih ketika melihat mereka semua ‘menikmati pertarungan’ itu dengan mempertontonkannya dengan sangat terbuka di hadapan publik. Perbedaan pendapat tidak lagi dipahami sebagai rahmat yang menguatkan satu sama lain. Perbedaan pandangan tidak lagi dipahami sebagai kekayaan berpikir dan luasnya lautan akal dan pikir manusia. Perbedaan paham telah menjadi alasan untuk saling menjegal dan menjatuhkan kelompok lain.
Kenapa kita tidak mau belajar dari sejarah panjang keterpecahan umat Islam akibat ketidakmampuannya mengelola perbedaan (atas tafsir ayat-ayat Al Quran?). Kita tidak perlu mengambil contoh di dunia internasional untuk menghadirkan ini.
Di Indonesia sendiri, munculnya kelompok-kelompok yang sangat aktif mengkafirkan satu sama lain adalah bukti ketidakmampuan umat Islam mengelola perbedaan atas tafsir ayat Al Quran. Munculnya kelompok yang sedang memperjuangkan negara Islam juga menjadi fakta dari perbedaan tafsir atas ayat Allah yang belum mampu terpecahkan jalan keluarnya. Belum lagi munculnya pertentangan terkait bid’ah, thogut, dan lain sebagainya. Kenyataan ini tidak saja akan mengancam umat Islam, melainkan juga mengancam keberlangsungan kita sebagai sebuah bangsa. Masih banyak contoh lain yang bahkan ada di hadapan mata kita sendiri. Bagi saya, perbedaan yang telah menghadirkan kebencian apalagi permusuhan hingga peperangan adalah bukan lagi Islam meski mereka berdalih sebagai kelompok yang paling lurus.
Sangat tidak benar jika kita memaksa orang lain untuk mengikuti kebenaran tafsiran yang kita yakini kepada orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Karena (saya sependapat bahwa) kebenaran hakiki hanyalah milik Allah. Manusia hanya berusaha menafsirkan apa yang hendak disampaikan Allah kepada manusia melalui perantaraan Rasulullah, Muhammad SAW. Yang harus kita kedepankan adalah sikap untuk saling menghormati keyakinan atas tafsir yang diimani masing-masing. Karena itu, menjadi keliru pula jika kita menganggap bahwa tafsiran ayat Al Quran dari satu kelompok sebagai alat untuk ‘membodohi’ umat. Di titik inilah, saya memandang Ahok telah khilaf.
Bahwa Ahok, sebagaimana pengakuannya sendiri, mempelajari tafsir Al Maidah 51 ini dari salah satu ulama besar Indonesia, Abdurahman Wahid. Pandangan Gus Dur sendiri terkait polemik ini banyak diikuti oleh beberapa kyai yang berasal dari NU. Karena itu Ahok memaknai ayat Al Maidah 51 itu sebagaimana yang diajarkan Gus Dur kepadanya. Ahok tidak belajar dari pinggir-pinggir jalan atau dari media sosial yang cenderung memaknai sesuatu berdasarkan kepentingannya.
Ahok belajar agama Islam dari salah satu cucu pendiri ormas Islam terbesar yang juga mantan Presiden Republik Indonesia. Jika ada ulama lain yang memahami ayat tersebut dengan pandangan berbeda dengan pemahaman Gus Dur, itu sah. Yang menjadi soal adalah ketika kita mengatakan bahwa pemahaman yang berbeda dengan kita adalah salah. Wallahu a’lam bishawab... hanya Allah yang Maha Mengetahui. Saya juga bisa keliru memandang hal ini.
Meski demikian, sungguh saya tidak melihat ada niat buruk di dalam diri Ahok untuk menistakan Islam dan ulamanya. Yang saya pahami, Ahok sedang meyakinkan warga di Kepulauan Seribu untuk tidak ragu menerima program pemerintah provinsi DKI Jakarta tanpa harus terbebani dengan keharusan memilih Ahok pada pilkada 2017 mendatang. Bagi saya, pada saat kejadian tersebut, Ahok sedang berusaha untuk meningkatkan kepercayaan diri warganya dalam upaya mereka meningkatkan taraf ekonominya masing-masing.
Ahok juga sedang mengedukasi warga agar tidak mudah terhasut oleh janji-janji manis ala politisi menjelang Pilkada atau Pileg seperti yang terjadi selama ini. "Jika bapak ibu melihat ada calon yang lebih baik dari saya untuk mengurus Jakarta, silahkan jangan pilih saya". Demikian antara lain dia menghimbau. Dan itu diucapkan di banyak kesempatan, tidak saja ketika dia berada di Kepulauan Seribu itu. Bagi saya, seorang calon gubernur hanya akan menggali kuburannya sendiri jika benar-benar dia berniat menghina agama pemilihnya.
Terlepas dari semua itu. Ahok dengan tulus telah menyampaikan permohonan maaf kepada setiap orang yang tersinggung dengan ucapannya. Sebagai kelompok yang mengatasnamakan Islam, mestinya tidak ada alasan untuk tidak menerima permintaan maaf tersebut. “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan”. Quran surah Asy-Syura ayat 43 ini hanyalah salah satu perintah untuk memaafkan yang disampaikan Allah melalui kitab-Nya. Biarlah proses hukum yang akan menelisik apakah ada niat menistakan Islam dalam dirinya atau tidak ketika dia mengucapkan hal itu.
Adil(lah) Melihat Ahok
Gelombang kemarahan berbagai kelompok masyarakat terhadap Ahok rasanya sudah pada tingkat dewa. Yang agak aneh menurut saya, dari kelompok besar demonstran 4 November 2016 lalu terselip pula sebagian (kecil) kelompok yang tidak beragama Islam. Bahkan ada juga yang berasal dari golongan bangsa Ahok sendiri. Saya tidak paham apa yang membuat mereka harus larut dalam kemarahan umat Islam. Saya juga tidak mengerti apa motivasi mereka untuk ikut menudingkan telunjuk mereka pada seorang Anak Tuhan.
Peristiwa Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu seakan baru menyadarkan kita bahwa ada seseorang yang bernama Ahok. Dia sekan-akan baru muncul ke permukaan bumi di Kepulauan Seribu lantas menghina dan menistakan agama Islam dan ulamanya. Meneriakkan kebenciannya kepada kelompok mayoritas di negeri ini. Kita seakan-akan lupa, atau berpura-pura tidak ingat atas kemaslahatan yang telah dihadirkan oleh Ahok kepada umat Islam dan kemajuan agama Islam di Indonesia. Dia telah memiliki catatan panjang yang memukau, tidak hanya ketika dia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, melainkan semenjak dia menjadi bupati (pertama) di Belitung Timur belasan tahun lalu.
Sembilan puluh tiga persen penduduk Belitung Timur yang merupakan pemeluk agama Islam tentu bukanlah umat yang bodoh yang mau menggadaikan nasib dan keimanan mereka selama 5 tahun di tangan seorang kafir (dan China). Masyarakat Belitung Timur tentu memiliki alasan sendiri yang jauh melampaui sekat-sekat agama dan suku sehingga begitu mantap memilih seorang Ahok sebagai pemimpinnya. Dan pilihan umat Islam di Belitung Timur tidak salah, Ahok adalah kepala daerah pertama di Indonesia yang berhasil menjalankan program jaminan sosial kepada warganya. Mereka boleh berobat dengan gratis di rumah sakit dan puskesmas milih pemerintah.
Di DKI Jakarta, apa yang telah dilakukan Ahok lebih fenomenal lagi. Dihimpun dari berbagai sumber, bahwa sejarah panjang DKI Jakarta dengan 16 gubernur sebelumnya tidak pernah memiliki masjid di balaikota. Sepanjang sejarah itu pula DKI Jakarta tidak memiliki masjid raya provinsi. Nanti di tangan seorang gubernur kafir, simbol-simbol kejayaan Islam itu berdiri gagah dan megah. Belasan masjid dan mushola juga dibangun di berbagai pelosok Jakarta. Umat Islam di Jakarta boleh menjadikan tempat itu untuk mempertebal rasa keimanannya sekaligus meningkatkan peradaban keislaman di Indonesia. Tidak saja hanya mendirikan, Ahok secara regular memberikan bantuan kepada ratusan mushola, masjid dan majelis taklim yang berkisar antara 15 juta hingga 75 juta rupiah setiap tahunnya. Selain itu, Jakarta Islamic Centre (JIC) Jakarta Utara dijadikan sebagai etalase keilmuan keislaman dan wisata religi.
Setiap tahun, sejak 2014 lalu, Ahok telah mengumrohkan ratusan orang penjaga masjid/mushola dan penjaga makam. Ahok telah memberikan insentif kepada guru mengaji di DKI Jakarta agar warga muslim di Jakarta mampu membaca Al Quran dengan baik.
Warga yang tidak mampu bersekolah dan berobat mendapatkan jaminan sosial berupa Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). Rakyat miskin kini tidak lagi kuatir untuk tidak bersekolah atau tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Dan karena Islam adalah agama mayoritas di Jakarta, maka sudah pasti, penerima manfaat terbesar atas kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta tersebut adalah umat Islam. Pada saat meroketnya harga daging menjelang lebaran, Ahok bahkan memberikan harga Rp. 39.000,- kepada setiap pemegang KJP ketika harga daging di pasaran sudah mencapai Rp. 150.000. Jangan dipikir bahwa semua itu untuk warga yang beragama Kristen. Tidak. Mayoritas penduduk Jakarta adalah beragama Islam.
Di luar itu, dia yang telah membuat Jakarta saat ini jauh lebih bersih. Transportasi umum jauh lebih bersahabat. Layanan publik jauh berubah menjadi sangat melayani. Dan, lihatlah deretan panjang warga Jakarta yang antri setiap pagi di balaikota untuk mengadukan persoalan yang dihadapinya. Kepada mereka, Ahok dengan kesabaran dan ketelatenannya, tak pernah lelah menerima keluhan sekaligus (langsung) memecahkan persoalan yang sedang digeluti oleh warga Jakarta.
Jakarta adalah etalase Indonesia. Jakarta yang baik, yang melayani, yang bersih adalah juga wajah Indonesia. Indonesia yang baik, mestinya juga dipahami sebagai wajah Islam yang baik.
Ayolah. Ahok tidak berasal dari kantung ajaib Doraemon yang tiba-tiba ada di Kepulauan Seribu untuk menghina dan menista agama Islam. Jelas sudah sangat banyak hal yang sudah dia lakukan untuk umat Islam.
Marilah kita jujur pada diri kita masing-masing, sejenak mendinginkan kepala dan menjernihkan hati agar kita lebih adil melihat sosok seorang Ahok. Jangan hanya sekali kekhilafan yang dibuatnya lantas membuat kita mengabaikan semua kerja keras dan jejak-jejak fenomenal yang telah dia hasilkan. Miminal dengan tidak menghapus apa-apa yang telah diperbuatnya untuk umat Islam dan kemajuan peradaban agama Islam di Indonesia. Paling tidak, untuk tetap menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang selama ini dia perjuangkan untuk warga Jakarta.
Dan sebelum kita semakin larut dalam perdebatan dan perperpecahan akibat Al Maidah 51, salah satu ulama kita, KH. Mustofa Bisri telah mengingatkan kita agar menyempatkan diri kita juga untuk kembali pada Al Maidah 8:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Penulis adalah Direktur Ilalang Papua
Editor : Trisno S Sutanto
Warga Batuah Serahkan Seekor Trenggiling ke BKSDA
SAMPIT, SATUHARAPAN.COM- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Sampit Kabupaten Kotawaring...